Ketika program investasi Cina meningkat, hubungan RI-RRC semakin erat, Partai Komunis Cina (PKC) menginjakkan kaki di Istana. Tenaga Kerja Asing (TKA) Cina datang dan sulit dihadang. Pemilikan tanah sampai ke desa, serta isu komunisme yang menghangat. Maka persoalan “Cina yang nginjak dan ngelunjak” menjadi bertambah rumit. Sentimen etnik dapat bereskalasi.
Kejadian ini tentu saja sangat tidak bagus bagi harmoni masyarakat negeri ini yang sangat menghargai perbedaan etnis dan kebhinekaan. Namun yang menjaga sensivitas sosial sesasama warga masyarakat juga sangat diperlukan. Untuk menghindari gesekan dan kecemburuan sosoal yang memang ngata-nyata terbelah akibat perbedaan pendapatan dan penguasaan kue pembangunan.
Harus Segera Bertindak
Pertama, Polisi Militer TNI Angkatan Darat supaya mengusut terus Hendra Winata. Apa motif dan sanksi pelanggaran? Mengapa plat nomor reg milik Kolonel CPM Bagus Heru ada pada Ahong? Apakah ini modus “pembekingan” atau gaya-gayaan semata?
Kedua, pemerintah harus redam emosi dan sentimen publik yang bagai api dalam sekam. Itu dengan kebijakan politik dan hukum yang tidak diskriminatif.
Ketiga, pemerintah tinjau ulang pengentalan garis “persahabatan” RI-RRC yang berspektrum ekonomi, politik, dan ideologi. Kembalilah kepada politik luar negeri yang “bebas aktif”.
Keempat, pemerintah stop impor TKA Cina. Karena disamping menggeser lapangan kerja warga negara sendiri, juga rawan penyusupan tentara atau milisi Cina.
Kelima, pemerintah harus lakukan sensus penduduk dan buat peta sebaran etnik. Karena dikhawatirkan ternyata totalitas etnik Cina meningkat tajam. Bhineka Tunggal Ika tidak boleh didalihkan untuk sesuatu yang dapat membahayakan negara.
Kasus “tertangkap” kamera yang viral dari tuan Hendra Winata alias Ahong harus dijadikan awal dari pembenahan kebijakan ke depan. Tidak ada lagi perilaku menyakitkan kepada warga dan bangsa Indonesia. Jitaklah “Cina yang nginjak dan ngelunjak”. (*)
Penulis: M. Rizal Fadillah