“Ahong Yang Nginjak & Ngelunjak”

Eramuslim.com – Sabtu (03/10). Mobil Toyota Fortuner dengan plat nomer mobil dinas militer sangat  viral di Medsos. Masalahnya mobil tersebut ditumpangi oleh warga sipil yang diduga suami istri warga negara “etnis keturunan cina”. Terlihat dari profil hasil rekaman kamera hand phone seseorang yang mengaku wartawan.

Tentu bukan bermaksud mengangkat aspek etnik, tetapi keadaan ini telah membuat sakit hati warga masyarakat. Netizen di media memberi berbagai komentar yang intinya “Cina nginjak dan ngelunjak”. Menginjak pedal gas untuk kabur dan tidak melayani pertanyaan.  Siapa dia? Itu mobil dinas yang biasa dipakai siapa? Gejala sosial apa? Tindakan apa yang bisa berefek jera?

Akhirnya diketahui juga pengguna mobil Nomor Registrasi (Noreg) 3688-34 tersebut adalah Hendra Winata alias Ahong yang menurut keterangan bahwa Noreg itu sebenarnya telah ditarik oleh Puspomad atas nama Kolonel CPM Bagus Heru yang pensiun tahun 2016 lalu.Mengapa Mobil Dinas militer Noreg 3688-34 yang katanya sudah ditarik masih bisa ” berkeliaran”? Memerlukan pengusutan lebih lanjut.

Kaitan dengan peristiwa tahun 2016 kita teringat juga tertangkapnya mobil dinas tentara yang dikendarai dan dimiliki oknum etnis cina. Di Jawa Timur, persisnya di Genteng antara Surabaya Banyuwangi. Mobil Noreg 99457 V ternyata pemiliknya adalah Gavin Tjandra Laksana. Kasus ini menguap tak terusut jejaknya.

Tentu masih banyak kasus serupa di berbagai daerah, hanya saja karena “tak terekam”, maka sipengendara mobil lewat-lewat begitu saja. Entah ada proses atau selesai dengan damai atau sipetugas mendapat telepon dari “atas”, lalu sitertangkap dilepas lagi. Urusan yang model memang bisa bervariasi. Satu kesamaan dalam kasus-kasus seperti ini adalah  “Cina yang nginjak dan ngelunjak”.

Kesenjangan sosial antara “etnis keturunan cina” dan “pribumi” cukup tinggi. Sejarah memang telah mencatat cukup lama. Status ekonomi yang timpang menciptakan kecemburuan. Gaya berstatus “tuan” sering menjengkelkan. Eksklusif dan cenderung “menguasai”. Dulu ada kebijakan pembauran dalam rangka menghindari perilaku seperti ini. Kini tak ada lagi.