Afghan 2.0

Waktu itu pandangan saya juga sempit. Hanya mau cari fakultas yang kalau lulus cepat mendapat pekerjaan. Kuliah di Fakultas Tarbiyah, kata kakak saya, bisa segera jadi guru agama. Sama sekali tidak memikirkan bahwa Indonesia memerlukan orang yang ahli Afghanistan!

Saya tidak mengikuti CNN atau BBC. Juga tidak mengikuti Al Jazeera atau Al Arabia –kemampuan bahasa Arab saya tidak mencukupi.

Untuk Afghanistan ini saya mengikuti media-media di Pakistan. Tentu dengan sikap skeptis. Juga lewat media-media Amerika. Dengan sikap yang sama.

Saya beruntung pernah sering bertemu orang-orang dari suku Pastun. Juga sering bicara dengan orang dari suku Hazaras.

Pastun menguasai 50 persen penduduk. Hazaras hanya 9 persen –sama dengan suku Tajiks yang juga 9 persen. Suku-suku lainnya amat kecil-kecil.

Orang-orang kaya suku Pastun hampir selalu punya pembantu orang Hazaras. Tidak ada orang Pastun yang mau jadi pembantu atau buruh kasar. Orang Pastun adalah orang dengan mental juragan. Dengan harga diri yang sangat tinggi.

Hazaras memang hanya 9 persen –mirip jumlah Tionghoa di Indonesia– tapi mereka terkonsentrasi di satu wilayah tengah. Yakni di sebelah barat Kabul. Dengan demikian untuk wilayah itu, suara Hazaras dominan. Pemerintahan lokal pun pemerintahan Hazaras.

Konflik di antara Pastun dan Hazaras bukan hanya soal juragan dan pembantu. Masih ditambah soal aliran keagamaan. Pastun adalah penganut Sunni. Hazaras umumnya penganut Syiah.

Kenyataan seperti itulah yang membuat Afghanistan agak sulit mengikuti jejak Uni Emirat Arab (UEA) yang kaya raya.

Di UEA hanya ada dua ke-emiran besar: ke-emiran Abu Dhabi dan Dubai. Lima ke-emiran lainnya sangat kecil-kecil. Ke-emiran Ras al Khaimah misalnya, hanya berpenduduk 300.000 orang –hanya seperti satu kecamatan di Jawa. Bahkan ke-emiran Ajman luasnya hanya 15 km x 15 km.