Inilah pertarungan babak baru antara masyarakat yang sudah muak dengan korupsi melawan legislatif yang dianggap bagian dari sarang mafia korupsi. Melalui kekuatan panitia seleksi yang terdiri dari akademisi dan tokoh masyarakat, delapan calon pun terpilih. Dan Bambang Widjojanto menempati posisi tertinggi ranking pilihan pansel.
Menurut anggota Pansel, Saldi Isra, sistem ranking yang dilakukan pansel dimaksudkan sebagai penjaga moral proses politik di DPR. Ranking kedelapan calon pun sudah disampaikan Ketua Pansel, Patrialis Akbar kepada presiden SBY. Mereka adalah Bambang Widjojanto, Yunus Husein, Abdulah Hehamahuwa, Handoyo Sudrajat, Abraham samad, Zulkarnaen, Adnan Pandu Praja, dan Ariyanto Sutadi.
Anggota pansel lain, Rhenald Kasali, mengatakan, terdapat perbedaan nilai antara calon yang berada di urutan pertama hingga keempat dengan calon yang berada di urutan kelima hingga kedelapan.
"Perbedaannya bisa seperti langit dan bumi. Jadi, kalau (calon urutan) pertama hingga keempat, kita berani merekomendasikan. Tapi (calon urutan) kelima hingga kedelapan, ini karena kewajiban undang-undang. Jadi, kami harus memberikan delapan nama. Mohon tafsirkan ini dengan jelas," kata Rhenald kepada para wartawan. (Kompas)
Tafsirannya tentu sudah jelas, bahwa pansel sangat merekomendasikan Bambang Widjojanto, Yunus Husein, Abdullah Hehamahuwa, dan Handoyo Sudrajat sebagai empat pimpinan KPK mendampingi Busyro Muqoddas.
Permasalahannya, beranikah DPR, khususnya komisi III memilih mereka sebagai pimpinan KPK untuk empat tahun kedepan. Dan itu berarti melewati tahun pemilu 2014 yang menjadi masa pertaruhan eksistensi mereka di mata publik yang disahkan KPK: sebagai penjahat atau pejuang rakyat.
Ruang Gelap DPR
Para pengamat dan pakar hukum umumnya sangat keberatan jika DPR menjadi penentu pemilihan pimpinan KPK. Hal tersebut karena DPR selama ini dianggap menjadi bagian dari masalah pembenahan korupsi yang begitu mewabah di negeri ini.
Adalah Wa Ode Nurhayati, anggota DPR dari badan anggaran yang pernah mencuatkan ketidakberesan di DPR ke publik. Bahkan Nurhayati menyebut pimpinan Badan Anggaran dan pimpinan DPR sebagai penjahat anggaran.
Serangan balik pun muncul. Wa Ode Nurhayati difitnah dan dilaporkan Ketua DPR Marzuki Alie karena telah melakukan pencemaran nama baik pimpinan DPR.
Namun, kasus nyanyian Nazaruddin kian menguatkan cerita Wa Ode Nurhayati soal mafia anggaran di DPR. Seperti diberitakan media, Nazaruddin mengungkap mafia anggaran untuk kasus pembangunan wisma Atlet yang melibatkan badan anggaran di DPR. Dan itu sudah lintas partai.
Sudah bukan rahasia lagi kalau ada rapat kerja antara DPR dengan pemerintah yang berlangsung di hotel atau tempat lain di luar gedung DPR, selalu tercium aroma ‘perselingkuhan’ uang atau kebijakan. Dalam hal ini, tidak ada lagi perbedaan partai, karena ideologinya saat itu cuma satu: uang.
Jauh sebelumnya, kasus cek pelawat yang digelontorkan Nunun Nurbaeti yang hingga kini masih buron, cukup menjadi bukti kebobrokan mafia di DPR. Karena DPR bukan lagi menjadi wakil rakyat, tapi wakil partai yang menjadi kepanjangan tangan elit-elitnya yang bermain di proyek-proyek di pemerintahan dan swasta.
Adu Strategi Pansel dan DPR
Sejumlah masyarat sipil yang dipelopori akademisi dan tokoh masyarakat masih yakin bahwa KPK masih bisa dijadikan senjata untuk memberantas korupsi. Melalui panitia seleksi atau Pansel yang dipayungi kementerian Hukum dan Ham, mereka memilih komandan KPK.
Karena undang-undang menentukan DPR sebagai penentu calon pimpinan KPK yang terpilih, adu strategi antara Pansel dan DPR pun begitu terlihat di permukaan. Dan itu terjadi ketika pemilihan Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto di pemilihan satu pimpinan KPK yang lalu menggantikan Antasari Azhar.
Dari sekian pendaftar yang masuk, Pansel waktu itu memilih dua calon: Busyro dan Bambang. Dua-duanya merupakan sosok yang dianggap bersih dan mumpuni dari segi hukum oleh masyarakat. Pilihan dua sosok ini tentu sangat menyulitkan DPR.
DPR pun sepertinya menggunakan strategi: siapa yang paling kecil resikonya. Di banding Bambang yang merupakan aktivis senior hukum, Busyro yang hanya seorang akademisi dianggap paling kecil resikonya.
Benar saja, Busyro akhirnya yang dipilih DPR daripada Bambang. Inilah salah satu fakta yang menunjukkan betapa takutnya DPR terhadap sosok Bambang.
Ternyata, pilihan kepada Busyro pun bukan pilihan akhir DPR. Dengan muslihat baru, mereka memainkan masa tugas pimpinan DPR yang hanya empat tahun. Karena Busyro dipilih untuk menggantikan posisi Antasari Azhar, maka DPR pun memainkan ini sebagai masa tugas Busyro yang hanya sepuluh bulan, atau sisa masa tugas Antasari Azhar.
Kalau saja bukan karena campur tangan MK melalui keputusannya soal masa tugas Busyro di KPK, mungkin Busyro pun sudah harus siap-siap hengkang dari KPK jilid dua yang habis masa tugasnya Desember tahun ini.
Kini, adu strategi babak kedua antara Pansel dan DPR pun kembali terjadi. Dengan membuat ranking empat orang dengan nilai yang begitu jauh dari urutan kelima hingga kedelapan, sepertinya Pansel ingin menyempitkan ruang gerak DPR yang terkenal lihai bermain.
Entah strategi apa yang akan dimainkan DPR untuk melawan Pansel. Publik silakan mencatat, siapa saja anggota komisi III DPR yang ikut memilih, dan siapa yang akan mereka pilih. Kalau keluar dari nominasi Pansel yang sudah dianggap kredibel ini, jangan ragu-ragu memutuskan: DPR memang sarang mafia. mnh
foto: harianpelita