Maka, ketika terkait lontaran Islam moderat seperti yang telah digelindingkan sang PM kemudian diartikan tidak ingin melanggengkan “perkawinan” dengan Wahabisme, penulis kira hampir mustahil. Meskipun bukan tidak mungkin juga seiring hasrat untuk menarik investasi dalam rangka terbebas dari belenggu minyak supaya para investor merasa bebas dari stigmatisasi radikal yang selama ini selalu disematkan ke Wahabisme.
Analisis lain yang bisa dimajukan terkait lontaran Islam moderat tersebut adalah dalam rangka merespons tudingan yang telah dilakukan sekutu dekat Saudi, yaitu Amerika Serikat, yang beberapa waktu lalu Presiden Donald Trump telah menuding Iran sebagai radikal?
Kalau Iran radikal, bagaimana dengan Saudi yang ketika peristiwa 9/11 banyak pelaku yang dituding terkait dengan ajaran Wahabisme? Penulis kira, dalam rangka menolak tudingan balik itu, Saudi perlu menegaskan ketidakberpihakannya kepada Islam radikal.
Meskipun begitu, istilah kembali ke Islam moderat seperti ditegaskan PM tidak tepat, karena faktanya sejak berdiri sebagai akibat “perkawinan” memang belum ada jejak moderatnya.
Dengan kata lain, Islam moderat seperti yang PM lontarkan–menurut penulis–masih harus dicermati. Sebab, bukan tidak mungkin hal itu sekadar untuk tidak disamakan dengan Iran yang oleh Amerika Serikat dicap radikal.
Langkah tersebut juga sekaligus untuk mengurangi kritik arah absolusitas yang dengan beberapa tindakan belakangan ini menjadikan raja saat ini dan penggantinya kelak akan lebih berkuasa ketimbang Raja Abdul Aziz Al Saud sang pendiri kerajaan Arab Saudi.
Bahkan, bisa jadi Raja Abdul Aziz masih kalah berkuasa, karena selain harus menjaga keseimbangan antarsuku, juga harus berbagi dengan para ulama Wahabi. (kl/republikaonline)
Penulis: Mahmudi Syari, Peneliti pada International Conference of Islamic Scholars (ICIS)
https://m.eramuslim.com/resensi-buku/pekan-discount-buku-20-untuk-buku-buku-ini-stok-terbatas.htm