Eramuslim.com – Sejak Raja Salman bin Abdul Aziz memecat putra mahkota (PM) Muhammed bin Nayef, perubahan demi perubahan menyangkut pola suksesi dan pengelolaan pemerintahan seperti diakselarasi dengan sangat cepat.
Betapa tidak, dalam hitungan bulan sejak sang raja mengamendemen ketentuan huruf “B” (bahasa Arab huruf Ba’) yang memuat ketentuan pelarangan mengangkat anak kandung sebagai PM dan dengan amendemen itu selain memecat keponakannya yang berdarah separuh Jilwa (faksi kedua terkuat di dalam keluarga Saud), ia mengangkat anaknya Pangeran Muhammad bin Salman sebagai PM.
Apa yang terjadi di Arab Saudi saat ini bisa dikatakan sebagai sebuah ‘kudeta’ terhadap tatanan yang berlaku sejak meninggalnya Raja Abdul Aziz Al Saud yang sesuai ketentuan huruf “B” raja dilarang mengangkat anaknya sebagai PM.
Maka itu, seperti yang terekam di dalam sejarah, pengganti raja selalu dari saudara tirinya selain Raja Khalid yang menggantikan kakak kandungnya. Tujuannya tentu untuk menjaga hubungan dengan para suku berpengaruh di mana lewat perkawinan Raja Abdul Aziz aliansi bisa terbangun.
Dan, aliansi itu harus tetap terjaga sepeninggalnya melalui pemberian kesempatan untuk menjadi raja bagi keturunan kepala suku yang mencengkeram setelah Raja Fahd bin Abdul Azizi menempatkan lima adik kandungnya di sejumlah posisi kunci.