Ada apa dengan Mesir?

Sudah banyak tulisan yang mengupas penderitaan bangsa Palestina dari berbagai perspektif dan dimensi. Yang jelas, mereka (khususnya penduduk Gaza) benar-benar sedang mengalami penderitaan diatas rata-rata penderitaan bangsa lainnya. Sebab dihadapan mereka hanya dua pilihan, pertama selamat dari terjangan hujan bom Israel kedua terkena serangan bom yang dapat menciderai bahkan hingga mengakibatkan kematian. Hingga kini ( 2/12/2009) sudah lebih dari 420 syuhada yang gugur dan ribuan lainnya terluka dimana sebagian besar mengalami cidera yang cukup berat. Sebuah pemandangan yang sangat kontras dari tetangganya bangsa Mesir yang hidup nyaris didalam suasana "aman tenteram". Padahal kedua "bangsa" tersebut memiliki kesamaan ras, bahasa,kultur,historis dan Agama. Selebihnya secara geografis dan demografis mereka hanya dibedakan oleh bentangan pagar beton setinggi 3 meter, saking dekatnya jarak geografis diantara mereka, getaran-getaran yang berasal dari ledakan bom yang menghujam tanah Gaza (Rafah Palestina) sempat memecahkan kaca rumah-rumah penduduk Mesir ( Rafah Mesir).

Didalam bertetangga, biasanya sebuah komunitas jika melihat rumah tetanganya mengalami musibah fisik seperti kebakaran atau ancaman pembunuhan, hal yang pertama kali yang lazim dilakukan adalah dengan menolong tetangganya agar sebisa mungkin menghindari munculnya korban jiwa, apalagi jika rumah tetangganya itu adalah saudara atau kawan dekat ataupun sesama agama. Namun kelaziman ini tampaknya kurang berlaku di Mesir, seakan membiarkan rakyat Gaza menyerahkan nasib nyawanya kepada hujan bom Israel, satu-satunya pintu perbatasan yang menjadi urat nadi kehidupan penduduk Gaza justru fungsinya dipersempit oleh pihak penguasa Mesir hanya sebagai jalur keluar bagi segelintir penduduk Gaza yang terluka (ataupun terlanjur meninggal) dan sebagai jalur masuk bagi sedikit bantuan-bantuan logistik dan obat-obatan (hanya puluhan truk dari minimal 700 truk perhari yang dibutuhkan menurut kalkulasi aktual pemerintah setempat dan pihak PBB). Padahal hanya pintu perbatasan inilah (pintu Rafah) yang paling memungkinkan bagi penduduk Gaza untuk berharap. Gaza memiliki 9 pintu perbatasan dengan dunia luar, 8 pintu berhubungan langsung dengan Israel dan hanya satu pintu yang berhubungan dengan Mesir.

Sikap Mesir ini memancing rasa heran dari berbagai pihak baik dari pihak kawan maupun lawan.Qatar, Suriah,Sudan dan Iran sebagai sesame Negara Arab dan Islam tanpa lelah selalu mendesak Mesir untuk membuka pintu Rafah untuk segala fungsi. Presiden Sudan Al Basyir dan pemimpin Libya Qaddafi dengan kesal mengatakan apa gunanya menjadi penguasa Arab jika mendiamkan penduduk Gaza menderita. Adapun dipihak lawan Bush dan Olmert tidak sanggup menahan rasa kagumnya terhadap penguasa Mesir yang "stay firm" didalam menutup pintu Rafah. Didalam tingkat akar rumput sudah pasti menimbulkan amarah besar, jutaan rakyat negeri-negeri Arab turun kejalan, berteriak, menangis meratapi keterbatasan mereka karena tidak dapat melakukan apa-apa untuk menolong penduduk Gaza. Bahkan rakyat Mesir menuntut lebih, mereka meminta agar pemerintahnya segera mengusir duta besar Israel dan memutus jalur pasokan gas dari Mesir ke Israel. Kedutaan-kedutaan Mesir diberbagai negara Arab terpaksa harus dijaga ketat oleh aparat keamanan setempat untuk menghindari amuk massa sebagaimana yang sudah terlanjur terjadi di Beirut dan San’aa, bahkan di San’aa Yaman sebuah konjen Mesir sempat diduduki dan isinya diobrak abrik oleh massa yang marah.

Pada tahun 1973 Mesir dapat merebut kembali tanah Sinai dari tangan Israel secara konvensional (agresi militer terbuka), sebuah prestasi yang patut dibanggakan tidak hanya oleh bangsa Arab dan Islam namun diidamkan oleh seluruh manusia yang menginginkan kemerdekaan dimuka bumi ini dari dominasi imperialisme barat. Jarang sekali terjadi dimana sebuah negara dunia ketiga yang baru saja bangun dari tidurnya mampu membangun kekuatan militer yang luar biasa dan mengalahkan kekuatan modern yang dibackup penuh oleh kekuatan-kekuatan barat. Mesirpun yang menyebarkan api gerakan-gerakan kemerdekaan bangsa Arab dari tangan penjajah Eropa pada awal abad ke 20. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Ali, Saad Zaghlul, Muhammad Abduh, Hasan Al Banna hingga Gama Abdul Naser adalah tokoh-tokoh Mesir yang mereformasi bangsa Arab dari masa kelam penjajahan oleh karena itu mereka sangat dihormati oleh seluruh bangsa Arab. Institusi-institusi seperti Al Azhar, Ikhwanul Muslimin dan gerakan Pan Arabisme era Naser bukan saja memiliki pengaruh pembebasan terhadap negara-negara Arab namun mengintegrasi kejagat dunia. Hal ini membuat Mesir memiliki bobot sejarah yang distinctive (sangat khusus) dibenak negara-negara Arab.

Didalam konteks menghadapi agresi Israel baik saat serangan ke Hezbollah di Lebanon Selatan tahun 2006 maupun saat ini ke Hamas di Gaza, sikap Mesir dapat dibilang sebagai titik balik dari bobot sejarahnya. Terlalu panjang jika kita mengupas seluruh penyebab-penyebab titik balik tersebut sebab membicarakan sebuah turning point secara 180 derajat sebuah Negara yang berbobot berat sperti Mesir akan terjadi penjabaran kolisi dimensional yang sangat panjang, efektifnya saya hanya ingin memaparkan beberapa penyebab yang cukup signifikan dan lebih kontekstual yang mendorong Mesir lebih "keukeuh" bersikap seperti ini, adapun penyebab-penyebabnya adalah ;

  1. Dibukanya hubungan diplomatik dengan Israel setelah Mesir merasa menang perang Sinai tahun1973 sendirian, hal ini menimbulkan kontroversi hingga Mesir sempat dikucilkan oleh negara-negara Arab selama belasan tahun. Mungkin saja Mesir tidak mau kehilangan Sinai lagi setelah "capek capek" merebutnya "sendirian". Namun negara-negara Arab menilai Mesir cukup “egois” karena kemenangan Mesir pada tahun 1973 tidak lepas dari dukungan negara-negara Arab berupa support finansial,intelejen,militer dan embargo minyak ke Barat. Belakangan, setelah runtuhnya Uni Soviet beberapa negara Arab seperti Jordania dan Mauritania mengikuti jejak Mesir dengan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel,setelah itu Arab Saudi menawarkan inisiatif perdamaian dan hubungan diplomatik kepada Israel jika Israel bersedia meninggalkan tanah-tanah yang direbut pada perang tahun 1967. Akibat dibukanya hubungan baik (baik diplomatik maupun masih didalam batas inisiatif) dengan Israel, terjadi polarisasi antara kubu negara-negara Arab yang melihat bahwa berdamai dengan Israel adalah satu satunya jalan untuk mencapai kemerdekaan Palestina dan kubu yang melihat bahwa berdamai dahulu dengan Israel akan banyak menanggalkan hak hak fundamental bangsa Palestina dan Arab.Kubu yang "moderat" menurut barat (termasuk Mesir) telah terlanjur banyak memiliki komitmen politik terhadap Israel dan Amerika, belum lagi kepentingan ekonomis yang membuat negara-negara itu tergantung kepadanya (baik Israel maupun mentornya Amerika Serikat)
  2. Keinginan kuat baik dari pemerintah maupun rakyat Mesir untuk mengangkat standar kehidupan. Mesir terbilang memiliki natural resources (SDA) yang terbatas dan daratan Mesir yang layak ditinggali oleh manusia hanya 5 persen dari total daratan Mesir, dan sejak gerakan kemerdekaan muncul hampir 90 tahun yang lalu Mesir selalu digoyang oleh instabilitas baik secara internal maupun eksternal sebagai konsekwensi logis dari posisi Mesir sebagai guru dari perjuangan kemerdekaan bangsa Arab, hal inilah yang membuat ekonomi Mesir kembang kempis. Saat presiden Sadat terbunuh, Mubarak naik menjadi presiden dan menjadikan momentum pembunuhan itu sebagai era pembangunan "mengejar standar kehidupan yang lebih baik". Perlahan namun pasti sistem sosialisme dirubah menjadi sistem kapitalisme yang cenderung liberal, memang benar terjadi beberapa peningkatan standar kehidupan dirakyat Mesir akan tetapi sistem liberal ini ternyata "memaksa" arah kebijakan politik Mesir menjadi lebih pragmatis terhadap barat setelah sebelumnya berpolitik tegas terhadap mereka. Salah satu contoh betapa pragmatisnya Mesir adalah perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika dan Israel dimana jatah pangsa ekspor Mesir ke Amerika Serikat bergantung dari besarnya kontribusi ekspor Mesir ke Israel. Dan yang terakhir adalah kesepakatan pemasokan gas alam ke Israel yang harga jualnya berada dibawah harga pasar. Dan sebagaimana pemerintahan yang berumur panjang dimanapun khususnya dinegara-negara berkembang, terjadi akumulasi modal dan kekuasaan kepada segelintir elit yang berada dipuncak piramida kekuasaan.Vested interest diantara mereka sangat kuat sehingga mereka harus mencari sandaran yang kokoh untuk mendapatkan legitimasi, sudah barang tentu fenomena plutokrasi seperti ini akan semakin menjauhkan penguasa dari rakyatnya dan tidak ada satu sandaran bagi penguasa itu kecuali dengan bersandar dengan kekuatan signifikan seperti barat – dalam hal ini Israel dan Amerika – .
  3. Nasionalisme fanatik yang cenderung sekuler dan membatasi diri dari jati diri asal yaitu Islam. Pada tahun 90an masih banyak saya jumpai panel-panel iklan yang besar yang berisi propaganda "misr awwalan!!!" (Dahulukan Mesir!!) artinya segala sesuatu yang harus didahulukan dari lainnya adalah Negara (Mesir) walaupun itu Agama ataupun keluarga. Sebenarnya fenomena "alguluwwu Al Watoni" (nasionalisme yang berlebihan) berawal dari konsep nasionalisme regional (Pan Arabisme) yang diusung oleh Presiden Gamal Abdul Naser, namun lama kelamaan berevolusi menjadi watoniyyah qutriyyah (Nasionalisme negara) setelah Republik Arab Bersatu (yaitu antara Mesir, Suriah dan belakangan Iraq) yang dipimpinnya terpecah akibat perselisihan diantara mereka sendiri, ditambah oleh kekalahan telak pasukan Nasser atas Israel tahun 1967 yang mengakibatkan hilangnya teritori-teritori Arab secara signifikan. Perlu diketahui bahwa nasionalisme ini bertumpu kepada pemisahan yang tegas antara urusan agama dan Negara, hingga kini adalah sebuah keaiban di Mesir jika suatu Parpol mengusung Islam sebagai kendaraan politiknya. Hal-hal tersebut ini menimbulkan friksi panjang antara kaum nasionalis dan Ikhwanul Muslimin dan didalam perjalanannya kaum nasionalis mendominasi mayoritas sektor kehidupan bernegara. Friksi ini merefleksikan pemetaan sosiologis rakyat Mesir, ada yang sudah merasa bahwa identitas utama mereka hanyalah Mesir namun masih banyak yang merasa bahwa Mesir hanyalah sekedar nama geografis dimana mereka mereka bersiteguh merasa bagian dari suatu konstalasi yang lebih besar (Islam). Oleh karena itu disaat terjadi sebuah krisis didalam salah satu Negara Arab seperti yang terjadi di Gaza saat ini terjadi pelambatan respons didalam manuver politik dan polarisasi opini yang lebih tegas membela kepentingan perjuangan sesama Arab. Saya sendiri mendengarkan langsung penilaian seorang rakyat jelata yang kebetulan menyupiri taksi yang saya tumpangi, orang Mesir itu menilai biar saja orang Palestina itu dibantai Israel, sebab mereka sedang menjalani hukuman akibat dari kenekatan mereka melawan Israel. Salah seorang tokoh pers Mesir berhaluan nasionalis Majdi Ad Daqqaaq mengatakan secara berapi api ; “..Biarkan Mesir menyelesaikan masalah Palestina dengan caranya sendiri, tanpa Negara-negara Arabpun Mesir mampu berdiri sendirian karena Mesir adalah bangsa yang agung! Dan saya ingatkan kepada Ismail Haniyyah – Perdana Menteri Hamas – agar segera meminta maaf atas kesalahannya yang diperbuat atas bangsa Palestina “. Namun masih banyak saya menyaksikan orang Mesir baik dari tetangga hingga dilayar televisi yang menangis hingga tersedak-sedak memohon maaf kepada bangsa Palestina karena tidak bisa berbuat apa-apa didalam menolong anak-anak dan wanita Gaza dari ancaman bom Israel. Hadeer, seorang bocah Mesir 14 tahun mengatakan di televisi satelit Al Jazeera; “Wahai penguasa Mesir, janganlah bertaruh dengan pintu perbatasan Rafah, sebab taruhannya besar …dimana keagungan sejarah Mesir terhadap perjuangan bangsa arab dan islam akan hancur lebur dalam seketika “

Ketiga faktor yang saya sebutkan diatas bersinergi dan menghasilkan apa yang terjadi sekarang, yaitu Mesir – yang dimasa lalu berfungsi sebagai induk dari bangsa Arab – menjadi sebuah entitas yang kini manuvernya begitu terbatas didalam memperjuangkan “mantan – mantan anak asuhnya”. Mungkin saja dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi bangsa kita agar negeri tercinta ini tidak terpuruk lebih dalam lagi.. Janganlah terlalu tergiur oleh propaganda-propaganda pepesan kosong yang menuhankan nasionalisme, sekulerisme dan liberalisme. Mesir saja sudah merasakan pahitnya ideologi-ideologi pepesan kosong tersebut masak kita mau senasib seperti mereka?

———–

Profil Penulis :

Ahmed El Motawakkel, Mahasiswa Univ. Al Azhar Cairo Fakultas Syariah Islamiyah , Aktifitas : Direktur Eksekutif Central for Moderate Muslim (CMM) branch Cairo.

mutawakkil.blogs.friendster.com/my_blog/