Benar, maju dalam pilkada adalah hak konstitusional setiap warga negara, tetapi maju jadi calon wali kota saat ayah dan mertuanya jadi Presiden ini soal kemiskinan jiwa, miskin etika politik. Lebih parah lagi ternyata sang Ayah yang merestui.
Karenanya 75 tahun Indonesia merdeka, yang merdeka itu dinasti politik, oligarki politik, dan para oligark ekonomi. Dukungan para cukong (oligark ekonomi) dalam membiayai pilkada adalah juga persoalan serius yang seringkali menjadi bencana bagi rakyat di daerah di kemudian hari.
Ya, mereka merdeka, tetapi rakyat banyak menderita. Tengoklah angka kemiskinan, lima bulan lalu, angka resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan lebih dari 26 juta jiwa rakyat Indonesia menderita miskin, itu angka resmi yang terdata. Data lain bisa lebih dari itu, apalagi kini situasi ekonomi makin memburuk.
Tengoklah juga angka pengangguran yang kini terus bertambah, mendekati angka 10 juta orang menganggur. Angka pertumbuhan ekonomi semakin hari semakin minus. Angka resmi year on year minus 5 % lebih, jika menggunakan Q on Q minusnya bisa dua kali lipat lebih.
Di sisi politik. Para pengkritik kekuasaan yang membela rakyat seringkali diteror bahkan diancam dibunuh seperti yang terjadi di Yogyakarta. Ada yang bekerja melakukan ini. Juga ada buzzer, ada influencer yang sengaja merusak kebebasan sipil. Ruang publik horizontal sebagai prasyarat sehatnya demokrasi telah dirusak.
Sejumlah akademisi, intelektual, agamawan, civil society yang tergabung dalam KAMI (Koalisi Aksi untuk Menyelamatkan Indonesia) yang menyuarakan kepentingan publik, kepentingan rakyat banyak juga mulai ada semacam intimidasi. Seperti yang diungkapkan tokoh KAMI Prof. Dr. Din Syamsudin beberapa waktu lalu.
Dengan fakta itu (dinasti, oligarki, teror, intimidasi, buzzer, dll) maka demokrasi di Indonesia mengalami erosi, semakin tidak berkualitas, uncivilized . Tentu ini merusak substansi Indonesia sebagai negara republik.
Faktanya kebebasan sipil di Indonesia saat ini memang sudah lampu merah, angkanya 57,35 dari skala 0-100 (BPS,2020). Menurut data yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU, 2020), Indonesia mencatatkan skor sebesar 6,48 poin dalam skala 0-10. Lebih rendah dari Filipina, Malaysia dan Timur Leste. Tentu ini angka yang buruk, menempatkan Indonesia dinilai yang rendah dari kategori flawed democracy (demokrasi yang cacat).
Arah pemberantasan korupsi juga makin kacau, agenda reformasi justru dikorupsi, koruptor di lingkaran kekuasaan tak jelas kabarnya (misalnya kasus Harun Masiku), pelanggaran HAM baru terus terjadi (penembakan mahasiswa di Kendari dll), pelanggaran HAM yang lama tak satupun dituntaskan. Jadi makna 75 tahun adalah juga episode buruk penegakan Hak Azasi Manusia. Penindasan atas kebebasan dan penderitaan ekonomi bersamaan, nyaris sempurna.
Nasib buruh, para pekerja, semakin mengkhawatirkan dengan ngototnya pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RUU Omnibus Law. RUU yang pro oligarki ekonomi. Merugikan buruh, dan menyuramkan masa depan generasi millennial yang sebagian saat ini masih menjadi mahasiswa. Generasi yang tuntutan-tuntutannya dicuekin pemerintah.
Beda dengan anak Presiden dan menantu Presiden. Mereka istimewa bisa jadi calon wali kota. Katanya untuk Indonesia Maju.
Indonesia Maju? Yang jelas, Anak Maju Menantu Maju! ***
Penulis; Ubeidillah Badrun