Dalam buku memoarnya, Sultan Abdul Hamid II mengatakan tentang mengapa dirinya tidak menandatangani keputusan ini, “Aku tidak bisa menjual meskipun sejengkal dari wilayah ini. Sebab tanah-tanah itu bukan milikku melainkan milik rakyatku. Rakyatku telah mendapatkan negeri ini dengan pertumpahan darah, dan kemudian menyiraminya juga dengan darahnya. Aku pun akan menyiraminya. Bahkan kami tidak akan mengizinkan seorang pun merampoknya dari anda. Hendaklah orang-orang Yahudi itu menyimpan jutaan uang mereka. Adapun jika pemerintahan ini runtuh dan terbagi-bagi, maka kaum Yahudi bisa mendapatkan tanah Palestina gratis. Kami sungguh tidak akan pernah membagi pemerintahan negeri ini, kecuali setelah melangkahi mayat-mayat kami. Aku tidak akan membaginya dengan tujuan apapun.”
Bagi Sultan, selama masih hidup, dia lebih rela menusukkan pedang ke tubuhnya sendiri daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah.
Adapun Herzl, setelah pertemuan itu, ia menegaskan bahwa dirinya kehilangan harapan untuk mencapai harapan orang-orang Yahudi di Palestina, dan bahwa orang-orang Yahudi tidak akan memasuki Palestina selama Sultan Abdul Hamid masih berkuasa.
Herzl meninggal pada tahun 1904. Tapi keinginannya untuk mendirikan negara Yahudi di atas tanah Palestina tak ikut mati bersama jasadnya. Dibantu oleh Barat, Zionisme Internasional yang dia dirikan berusaha mendirikan negara Yahudi di Palestina. Bahkan para Zionis bekerja sama dengan gerakan Turki Muda untuk memuluskan rencananya itu.
Ketegasan Sultan Abdul Hamid II adalah alasan utama tertundanya proyek Zionis global untuk membangun rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Karena ketegasannya itu, musuh-musuh Islam tak henti-hentinya merongrong kekuasaan Sultan Abdul Hamid II. Pada masa pemerintahannya, ia harus berhadapan dengan manuver orang-orang Yahudi Dunamah yang ingin mendongkel kekuasaanya. Sejarawan telah membuktikan bahwa Sultan Abdul Hamid II dengan tegas menolak tawaran Herzl.