Dalam kepercayaan masyarakat, ibukota kerajaan diyakini sebagai pusat mikrokosmos. Cukup dengan menyebut nama mikrokosmos, berarti sudah menyebut seluruh wilayah kerajaan.
“Itu sebabnya yang beken sekarang itu Pajajaran. Padahal yang betul Kerajaan Sunda. Itu kita harus berpegang pada sumber primer,” ujar Nina.
Sumber primer diyakini para ahli sebagai bukti autentik yang bisa menjadi referensi suatu sejarah. Hal ini juga bisa menjadi rujukan dari beragam perdebatan yang muncul dari proses interpretasi sejarah.
4. Kepercayaan Prabu Siliwangi Kerajaan Sunda sendiri tidak lepas dari adanya perdebatan. Salah satunya mengenai kepercayaan Prabu Siliwangi. Nina menjelaskan, kepercayaan Sri Baduga Maharaja termaktub dalam Prasasti Batu Tulis yang didirikan Prabu Surawisesa, 12 tahun setelah kematian Sri Baduga Maharaja.
Dalam prasasti itu jelas disebutkan bahwa Sri Baduga Maharaja, Ayah dari Prabu Surawisesa, meninggal pada 1521. Jenazahnya kemudian diperabukan.
“Kenapa diperabukan, karena dia beragama Hindu,” tutur Nina. Berbekal informasi dari sumber primer, jelas disebutkan bahwa Sri Baduga Maharaja meninggal dalam keadaan beragama Hindu.
Meskipun ada bukti sekunder yang menerangkan bahwa Prabu Siliwangi beragama Islam. Menjelang akhir usianya, mulai banyak pendatang yang menetap di Tatar Sunda. Para pendatang tidak hanya beragama Hindu, tetapi ada pula yang beragama Buddha dan Islam.
Nina memaparkan, beragamnya kebudayaan dan agama di Tatar Sunda membuktikan bahwa Kerajaan Sunda memiliki toleransi yang tinggi. Bahkan, penyebaran Islam di Tatar Sunda sudah berlangsung sejak abad ke-14.[konfrontasi]