Eramuslim.com – Peristiwa pembantaian 6.000 ulama di Tanah Mataram Islam, merupakan sejarah kelam yang tidak terlupakan. Bagaimana jalannya peristiwa itu, berikut ulasan singkat Harian Massa.
Peristiwa pembantaian ulama ini, terjadi pada masa kekuasaan Sultan Amangkurat I dari Kerajaan Islam Mataram. Dalam catatan sejarah Islam di Nusantara, pembantaian ulama ini merupakan yang terbesar dan brutal.
Sebelum lebih jauh membahas peristiwa kelam itu, baiknya kita ungkap sekilas sosok peminum darah para ulama ini.
Saat lahir, dia diberi nama Arab, Sayidin. Ketika sunat, dia dipanggil Jibus atau Rangkah, Semak Berduri. Di hari pernikahannya dengan putri Pangeran Pekik dan adik perempuan Sultan Agung, dia bergelar Pangeran Aria Mataram.
Sewaktu ayahnya mangkat, dia dinobatkan sebagai Sultan Amangkurat I. Sehari setelah penobatannya menjadi Raja Mataram, dia membangun keraton baru di tepi Kali Opak. Pembangunan ini dijalankan dengan kerja paksa.
Para petani laki-laki dan perempuan diharuskan meninggalkan sawah dan ladang. Mereka dipaksa bekerja paksa, tanpa upah hingga mati kelaparan. Raja yang lalim ini sangat dibenci oleh rakyatnya, dan selalu curiga dengan saudaranya.
Dia memerintahkan untuk membunuh pamannya sendiri, Pangeran Pekik dan membawa kepalanya ke Istana Mataram sebagai tanda kemenangan atas rasa takutnya sendiri. Dia juga membunuh adiknya sendiri, Raden Mas Alit.
Raden Mas Alit diduga hendak melakukan kudeta terhadap kekuasaan Amangkurat I. Kudeta ini gagal dan Raden Mas Alit tewas terbunuh. Tetapi, Amangkurat I tidak puas. Dia menduga para ulama ada di balik rencana kudeta tersebut.
Pembantaian terhadap 6.000 ulama di Mataram ini dilangsungkan dengan perencanaan yang cukup matang.
Sayangnya, tidak ada sumber sejarah lokal yang merinci peristiwa tersebut. Babad-Babad Jawa pun tidak. Satu-satunya sumber yang bisa diandalkan adalah catatan Rijkloff van Goens, pejabat VOC yang saat itu bertugas di Mataram.
Dalam catatan tersebut, disebutkan bahwa pembantaian berlangsung sangat cepat. Dalam waktu kurang dari 30 menit, sebanyak 6.000 ulama tewas dibantai. Peristiwa pembantaian terjadi, di bawah terik matahari, pada 1648.
Tetapi, tidak hanya para ulama yang menjadi korban pembantaian, keluarga dan para pengikutnya juga tewas dibantai.
Dilukiskan, usai pembantaian itu wilayah Mataram menjadi lautan darah. Beberapa ahli sejarah bahkan menyebutkan, bau anyir darah terjadi selama beberapa hari usai pembantaian tersebut. Mayat bergelimpangan di mana-mana.
Di hari pembantaian, Amangkurat I tidak muncul di luar benteng keratonnya. Seperti hari Kamis lainnya, dia memimpin sidang rapat. Meski demikian, pembantaian dilakukan atas perintahnya, yang ditandai dengan dentuman meriam.
“Belum setengah jam berlalu setelah terdengar bunyi tembakan, 5 sampai 6 ribu jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan,” tulis HJ de Graaf, seperti dikutip dari catatan Rijkloff van Goens, saat melukiskan pembantaian tersebut.
Sehari setelah pembantaian ribuan ulama itu, Amangkurat I mengadakan rapat dengan para pembesar kerajaan.
Yang mengejutkan, dalam rapat itu dia berpura-pura terkejut dengan pembantaian 6.000 ulama di Mataram. Dengan mata merah, dia melihat satu persatu pembesar kerajaan. Suasana pun menjadi hening hingga sejam lamanya.
Tiba-tiba, Amangkurat I membicarakan peristiwa pembantaian itu. Dia mengatakan, para ulama itu terlibat dalam kudeta yang mengakibatkan Raden Mas Alit tewas. Dia juga curiga ada pembesar kerajaan yang terlibat.
Beberapa menit kemudian, dia menunjuk empat orang pembesar kerajaan. Mereka difitnah menjadi dalang kudeta Raden Mas Alit dan pembunuhan para ulama. Mereka lalu ditangkap dan dipaksa untuk mengakui apa yang tidak diperbuatnya.
Meski awalnya sempat mengelak, tetapi karena tidak adanya pembelaan, membuat keempat pembesar kerajaan itu dijatuhi hukuman mati. Hal ini dilakukan Amangkurat I agar namanya tetap besar dari teror dan pembunuhan.
Selama 30 tahun, Amangkurat I berhasil mempertahankan kekuasaannya di bumi Mataram. Namun, diakhir masa kekuasaannya, dia diguncang pemberontakan hebat dari Pengran Trunojoyo, hingga terusir dari istananya.
Raja Mataram yang terkenal tiran dan haus darah itu akhirnya meninggal di tempat pelarian, Desa Wanayasa, Banyumas, pada 13 Juli 1677. Jenazahnya lalu dimakamkan di Tegalwangi atau Tegalarum.
Sumber: harianmassa
Objektivitas sejarawan belanda patut dipertanyakan, mengingat politik devide et empera yg dipakai utk memecah belah Indonesia. Terbukti pemberontakan sering terjadi thd kesultanan dan kerajaan yg menolak kerjasama dgn kolonial belanda.
Angka 6000 ulama pd zaman itu gak masuk akal sama sekali