Ilmu sihir yang ada sekarang ini diyakini berasal dari tradisi dan kepercayaan Babilonia kuno dan Mesir Kuno. Biarawan Sion diyakini telah mewarisi atau setidaknya mempelajari dengan kesungguhan yang luar biasa ilmu yang jelas-jelas berada di luar ajaran Tuhan ini. Semuanya bisa ditelusuri dalam kisaj antara Nabi Musa dan Bani Israil.
Nabi Musa dan Bani Israil
Dalam Taurat kitab “Keluaran” (Exodus) ada kisah tentang Nabi Musa a.s. dan Bani Israil. Namun sayangnya, keotentikan kitab Taurat ternyata sudah tercemar dengan berbagai penambahan yang dilakukan pihak-pihak tertentu. Dalam Kitab Ulangan ditemukan kisah kematian dan penguburan Nabi Musa a.s. Padahal kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Tidak bisa tidak, inilah bukti bahwa Taurat sudah tidak lagi asli.
Hal yang sama terjadi pula pada kitab-kitab suci lainnya, terkecuali Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an-lah kita bisa menemukan kisah yang paling akurat tentang eksodusnya Nabi Musa a.s. dan Bani Israil dari Mesir. Pada pengisahan tentang keluarnya Bani Israil dari Mesir, sebagaimana juga pada semua kisah lain yang berhubungan dengannya, tidak ada sedikit pun pertentangan. Kisah tersebut diceritakan kembali dengan jelas.
Lewat Al-Qur’an kita menjadi tahu betapa sikap kelakuan Bani Israil tidak bisa berubah walau mereka telah diselamatkan Allah SWT dengan diseberangkannya mereka melewati Laut Merah yang terbelah. Bani Israil tidak mampu memahami ajaran tauhid yang disampaikan Musa kepada mereka, dan terus cenderung kepada penyembahan berhala. Al-Qur’an memaparkan sikap mereka yang aneh ini pada ayat berikut:
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai pada suatu kaum yang tetap meyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: ‘Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)’. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)”.
Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al A’raaf: 138-139)
Walau telah diperingatkan oleh Nabi Musa a.s., Bani Israil tetap dalam pendirian dan penentangannya. Dan ketika Musa meninggalkan mereka, mendaki Bukit Thursina seorang diri untuk menerima “Firman yang Sepuluh” (The Ten Commandment), penentangan itu tampak sepenuhnya. Dengan memanfaatkan ketiadaan Musa, tampillah seorang bernama Samiri. Dia meniup-niupkan kecenderungan Bani Israil terhadap keberhalaan, dan membujuk mereka untuk membuat patung seekor anak sapi dan menyembahnya. Samiri[1] merupakan salah satu tokoh tinggi Kabbalah.
“Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa: “Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, lalu kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?”.
Mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak melanggar perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, tetapi kami disuruh membawa beban-beban dari perhiasan kaum itu, maka kami telah melemparkannya, dan demikian pula Samiri melemparkannya”, kemudian Samiri mengeluarkan untuk mereka (dari lobang itu) anak lembu yang bertubuh dan bersuara, maka mereka berkata: “Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa.” (QS. Thahaa, 20: 86-88)
Mengapa ada kecenderungan yang gigih di kalangan Bani Israil untuk membangun berhala dan menyembahnya? Dari mana kecenderungan ini bersumber? Harun Yahya, yang meneliti dan memaparkan kisah ini sampai pada satu hipotesis: “Sudah tentu, suatu masyarakat yang sebelumnya tidak pernah menyembah berhala, tidak akan secara tiba-tiba berkelakuan bodoh seperti membangun patung dan menyembahnya. Hanya mereka yang memiliki kecenderungan alami terhadap berhala yang akan mempercayai omong kosong semacam itu.”
Namun walau demikian, dahulu kala sebelumnya Bani Israil adalah kaum yang bertauhid. Nama ‘Bani Israil’ pertama kali diberikan kepada putra-putra Ya’kub, cucu Ibrahim, dan setelahnya semua bangsa Yahudi merupakan keturunannya. Bani Israil telah menjaga iman tauhid yang mereka warisi dari leluhur mereka Ibrahim, Ishak, dan Ya’kub a.s. Bersama Yusuf a.s., mereka pergi ke Mesir dan memelihara ketauhidan itu dalam waktu yang panjang. Walau mereka hidup di tengah masyarakat Mesir yang masih menganut paganisme, banyak dewa. Jadi, ketika Musa datang kepada mereka, Bani Israil masih merupakan satu kaum yang bertauhid.
Satu-satunya penjelasan untuk ini adalah bahwa Bani Israil secara perlahan terpengaruh oleh kaum pagan yang hidup bersama mereka, dan mulai meniru mereka. Satu bukti penting yang mendukung kesimpulan ini adalah bahwa anak sapi emas yang disembah Bani Israil saat Musa berada di Gunung Sinai. Anak sapi emas ini merupakan tiruan dari berhala Mesir Kuno bernama Hathor dan Aphis. Penulis Kristen Richard Rives dalam bukunya Too Long in the Sun menulis:
Hathor dan Aphis, dewa-dewa sapi betina dan jantan bangsa Mesir, merupakan perlambang dari penyembahan matahari. Penyembahan mereka hanyalah satu tahapan di dalam sejarah pemujaan matahari oleh bangsa Mesir. Anak sapi emas di Gunung Sinai adalah bukti yang lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa pesta yang dilakukan berhubungan dengan penyembahan matahari….
Pengaruh agama pagan bangsa Mesir terhadap Bani Israil terjadi dalam banyak tahapan yang berbeda. Begitu mereka bertemu dengan kaum pagan, kecenderungan ke arah kepercayaan bidah ini muncul dan sebagaimana disebutkan dalam ayat, mereka berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka memunyai beberapa tuhan (berhala).” (QS. Al A’raaf, 7: 138) Apa yang mereka ucapkan kepada Nabi mereka, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.” (QS. Al Baqarah, 2: 55) menunjukkan bahwa mereka memiliki kecenderungan untuk menyembah benda nyata yang dapat mereka lihat, sebagaimana yang terdapat pada agama pagan bangsa Mesir.
Kecenderungan Bani Israil terhadap paganisme Mesir Kuno penting untuk dipahami dan hal itu kelak memberi kita wawasan tentang perubahan dari teks Taurat dan asal usul dari Kabbalah. Jika kita pikirkan kedua topik ini dengan hati-hati, kita akan mencermati bahwa, pada sumbernya, ditemukan paganisme Mesir Kuno dan filsafat materialis sebagai asal-muasal Kabbalah.
Dari Al-Qur’an dan keterangan pendukung lainnya diketahui bahwa semasa Nabi Musa a.s. masih hidup, Bani Israil telah mulai membuat tiruan dari berhala-berhala yang mereka lihat di Mesir dan menyembahnya. Setelah Musa wafat, makin besarlah pengikut keyakinan sesat ini. Tentu saja, ini tidak terjadi pada semua orang Yahudi. Masih ada orang-orang Yahudi yang tetap dalam ketauhidan mereka. Namun jumlah yang berjalan dengan lurus ini sangatlah sedikit dibanding yang menyeleweng. Namun bagaimana pun juga, hati kecil orang-orang ini sebenarnya mengetahui bahwa hal tersebut tidaklah benar. Sebab itu, mereka kemudian mulai menyusupkan ajaran paganisme ini sedikit demi sedikit ke dalam Taurat mereka, sehingga di kemudian hari terciptalah Taurat—yang sesungguhnya kitab yang mendukung ketauhidan—menjadi sebuah kitab yang membenarkan Kabbalah, suatu keyakinan esoterik bangsa Mesir purba. Taurat yang telah banyak dicampuri dengan tangan manusia itu kemudian menjadi tidak beda dengan Kitab Talmud, sebuah kitab kuno yang merangkum tradisi dan ritual bangsa Yahudi awal.
Dengan mengadopsi doktrin-doktrin dari Kabbalah yang berlandaskan ilmu sihir ini, Bani Israil telah mengubah Taurat dan memasukkan Kabbalah sebagai doktrin mistis di dalam agama Yahudi, walau ini sesungguhnya bertentangan dengan Taurat yang asli. Penulis Inggris Nesta H. Webster dalam Secret Societies and Subversive Movements, menulis:
Ilmu sihir telah dipraktikkan oleh bangsa Kanaan sebelum pendudukan Tanah Filistin oleh Bani Israil; Mesir, India, dan Yunani juga memiliki tukang tenung dan peramal. Walau di dalam Hukum-Hukum Musa terkandung pelarangan atas ilmu sihir, bangsa Yahudi, dengan mengesampingkan peringatan ini, tertular dan mencampurkan tradisi suci yang mereka warisi dengan pemikiran-pemikiran yang sebagian dipinjam dari bangsa lain dan sebagian karangan mereka sendiri. Secara bersamaan, sisi spekulatif dari Kabbalah Yahudi meminjam dari filsafat Persia Magi, Neo-Platonis, dan Neo-Phytagorean. Maka, terdapat justifikasi bagi pendapat kelompok anti-Kabbalah bahwa apa yang kita kenal sebagai Kabbalah saat ini tidaklah murni asli dari Yahudi.
Tentang hal ini Al-Qur’an telah menyinggungnya dan menyatakan bahwa Bani Israil mempelajari ritual persihiran setan dari sumber-sumber di luar agama mereka sendiri.
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”.
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 102) [Bersambung/rizki ridyasmara]
[1] Ada yang mempercayai bahwa istilah “Uncle Sam’ berasal pula dari nama Samiri ini atau yang dalam bahasa Ibrani disebut Shamir. Istilah Semit pun diduga berasal dari Nama Samiri. Walau demikian, ada pula yang berpandangan bahwa ‘Uncel Sam’ sesungguhnya merujuk pada Sain-Germain, yang juga tidak jelas latar belakangnya. Hanya saja bangsa Amerika percaya, Saint Germain merupakan reinkarnasi dari orang-orang besar yang pernah hidup di dunia dan disetarakan dengan ‘Dewa Kebebasan’.