Di tengah kekosongan pasukan di Yogyakarta, pada 19 Desember 1948 belanda mekancarkan agresi militernya secara besar-besaran terhadap seluruh wilayah Republik Indonesia. Pada waktu itu sedang berlangsung perundingan antara Indonesia dengan belanda yang difasilitasi oleh PBB, dan komisi PBB dipimpin oleh orang Amerika.
Serangan terhadap Ibukota Yogyakarta dimulai dengan menduduki lapangan terbang Maguwo. Di pagi hari pukul 06.45, bersamaan dengan pendaratan tentara belanda di Maguwo, Wakil Tinggi Mahkota Belanda (HoogeVertegenwoordiger van de Kroon – HVK) Dr. Willem Drees, menyampaikan pidato di radio, di mana dia menyatakan, bahwa belanda tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville.
Mulusnya penyerangan dan pendaratan tentara belanda di lapangan terbang Maguwo dekat Yogyakarta, dikarenakan telah terjadi pengkhianatan besar di pihak Republik Indonesia. Ada yang memerintahkan agar ranjau di Maguwo di cabut dan senjata berat ditarik dari Maguwo.
Akibatnya, satu-satunya lapangan terbang dekat Ibukota RI Yogyakarta, Maguwo hanya dijaga oleh 150 tentara dengan senjata ringan. Tentara belanda tidak mendapat kesulitan untuk menghancurkan pertahanan ringan di Maguwo. Seluruhnya 150 TNI ditembak mati, tak ada yang tersisa. Ini diduga untuk menutup mulut siapa pengkhianat di tubuh RI. Di pihak tentara belanda tidak ada satupun korban jiwa.
Di masa perang gerilya, pada 1 Januari 1949 Panglima divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng mengeluarkan Instruksi Rahasia, yang isinya memberi perintah kepada seluruh pasukan di wilayah Divisi III, Jawa tengah Bagian Barat, agar melancarkan serangan serentak pada 17 Januari 1949. Instruksi Rahasia tersebut ada yang membocorkan ke pihak belanda.
Akibatnya, untuk mengantisipasi kemungkinan serangan dari gerilyawan Indonesia, di daerah Kranggan, dekat Temanggung, setiap pemuda Indonesia yang ditemui di jalan ditangkap, dan langsung dibawa ke tepi Kali Progo, kemudian langsung ditembak mati. Pembunuhan ini berlangsung samapi bulan Januari 1949. Diperkirakan sekitar 1.500 pemuda Indonesia tewas dengan cara ini. Di tepi Kali Progo dibangun Monumen untuk mengenang peristiwa ini.
Ironisnya, pada 10 Desember 1948 belanda ikut menandatangani Pernyataan Umum PBB mengenai HAM (Universal Declaration of Human Rights). Sembilan hari kemudian, belanda melancarkan agresi militernya di mana selama masa agresi militer tersebut puluhan ribu penduduk sipil non-combatant, dibunuh tanpa proses hukum apapun.
Demikian secuil kisah para informan belanda yang berakibat fatal untuk rakyat Indonesia.
Konferensi Meja Bundar (KMB) dan sesudahnya
Di masa agresinya sampai gencatan senjata pada 10 Agustus 1949, belanda berhasil mendirikan 15 Negara-negara atau daerah otonom, di mana para penguasanya adalah orang-orang yang pro belanda.
Dari 23 Agustus – 2 November 1949 berlangsung Konferensi Meja Bundar di Den Haag, belanda dengan hasil, didirikannya Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan Parlemen RIS.
Menjelang dimulainya KMB, semua kasus kejahatan yang dilakukan oleh tentara belanda ditutup. Namun pada 5 September 1949, di tengah perundingan perdamaian di belanda, hukuman mati terhadap seorang pemuda pejuang Indonesia, Wolter Robert Mongisidi dilaksanakan.
Sejarah mencatat, tak lama setelah berdiri, di beberapa Negara Bagian RIS bentukan belanda timbul kemarahan rakyatnya yang sejak awal tidak setuju dengan pembentukan Negara yang terpisah dari Republik Indonesia dan pergolakan rakyat tak dapat dicegah oleh pemerintah-pemerintah bentukan Belanda.
Beberapa pemerintahan Negara Bagian kemudian dipaksa oleh rakyatnya untuk membubarkan diri atau dibubarkan secara paksa oleh rakyatnya, sehingga pada bulan April 1950, hanya tinggal 3 Negara Bagian RIS yang tersisa, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur (NST) dan Negara Indonesia Timur (NIT).
Dengan persetujuan NST dan NIT, pada 19 Mei 1950 Pemerintah Republik Indonesia (RI) di bawah pimpinan Mr. Assaat Datuk Mudo mengadakan perundingan dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Dicapai kesepakatan untuk kembali membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).