Eksekusi di tempat yang dilakukan oleh Westerling dan anak buahnya di Sulawesi Selatan (setelah pemekaran, sebagian kini termasuk Provinsi Sulawesi barat) terhadap rakyat pendukung Republik Indonesia, dilakukan berdasarkan informasi dari penduduk setempat yang menjadi mata-mata belanda.
Sesuai daftar nama yang diberikan, maka orang-orang tersebut ditembak di tempat. Tragisnya, setelah eksekusi para pendukung Republik Indonesia, para informan tersebut juga ditembak mati di tempat.
Hal ini juga terjadi a.l. di desa Galung Lombok, dekat Majene, Sulawesi Barat. Pada 1 Februari 1947 pasukan elitWesterling Depot Speciaale Troepen (DST) di bawah komando Letnan Vermeulen mengumpulkan ribuan penduduk dari Kabupaten Majene dan Kabupaten Polewali Mandar untuk menyaksikan eksekusi terhadap pendukung Republik Indonesia.
Berdasarkan daftar nama yang diberikan oleh para informan, tahap awal 29 orang ditembak satu-persatu. Kemudian gelombang kedua, secara acak ditembak lebih dari 200 orang.
Kemudian karena ada laporan bahwa pejuang Indonesia membunuh tiga orang prajurit belanda yang akan memperkosa seorang wanita, Vermeulen memerintahkan untuk menembak ke arah kerumunan massa. Hanya dalam waktu beberapa jam, keseluruhan lebih dari 700 orang ditembak mati di tempat, termasuk para informan pribumi. Di antara yang tertembak mati ada seorang wanita hamil dan anak-anak.
Demikian juga yang terjadi di desa Rawagede, dekat Karawang pada 9 Desember 1947, satu hari setelah dimulainya perundingan perdamaian di atas Kapal Renville. Pada waktu itu tentara belanda terus memburu Kapten Lukas Kustaryo dan anak-buahnya. Berdasarkan informasi dari mata-matanya, tentara belanda mendapat informasi, bahwa Kapten Lukas berada di desa Rawagede. Pada pagi buta desa tersebut dikepung dan dimulai menyisir rumah penduduk satu-persatu. Namun tidak ada seorangpun anggota TNI.
Karena penduduk setempat tidak mau memberitahu keberadaan Kapten Lukas dan pasukan TNI, maka komandan pasukan belanda, Mayor Aflons Wijnen memerintah kan anak buahnya untuk membunuh semua laki-laki di atas usia 15 tahun. Namu ternyata di antara 431 penduduk laki-laki yang dibunuh, juga ada seorang bocah berusia 12 tahun. Sebagian yang ditembak di tepi sungai di musim hujan, langsung hanyut ke laut.
Karena tidak ada satupun penduduk laki-laki, maka para janda wanita dan anak-anak terpaksa menguburkan mayat-mayat penduduk laki-laki. Hari itu ada seorang wanita yang harus menguburkan ayah, suami dan dua putranya. Ini semua ulah dari pribumi yang menjadi mata-mata belanda.
Peristiwa Madiun September 1948 adalah rancangan belanda, dalam mempersiapkan agresi militernya yang terbesar terhadap Republik Indonesia pada 19 Desember 1948. Yang sangat berperan di sini adalah “van der Plas Connection” yang dibentuk Januari 1942.
Untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun, TNI mengerahkan seluruh pasukan, baik dari Divisi I Jawa Timur, termasuk Brigade Mobil Polisi, pasukan Divisi II dan Divisi III Jawa tengah, serta pasukan Divisi Siliwangi, yang akibat persetujuan Renville harus keluar dari jawa Barat. Hal ini mengakibatkan, bahwa di Ibukota Yogyakarta tidak ada satu batalyon pun.