Pada saat itu, pertempuran juga terjadi di terowongan Taman Wilhelmina di area Masjid Istiqlal yang terhubung ke Benteng Berland di daerah Matraman. “Istiqlal kan dulu Benteng Belanda. Ada terowongan yang terhubung ke Berland Matraman” ujar Alwi.
Rawa Bangke kemudian dikenal hingga 1980-an. Seiring dengan berjalannya waktu, Rawa Bangke diubah menjadi Rawa Bunga. Dikatakan Alwi, perubahan itu disebabkan masyarakat sekitar merasa risih dengan sebutan bangke.Konotasi negatif bangke diubah menjadi harum (bunga).
Hal senada dikatakan Yunus Mukri, tokoh masyarakat Rawa Bunga. Yunus mengatakan Rawa Bangke sangat dikenal dengan tempat berkumpulnya ulama di sebuah Surau yang kini menjadi Masjid Jami Al-Anwar yang sudah berdiri sejak 1859. “Dulu di masjid ini (Masjid Jami Al-Anwar) ada ulama besar. Guru Baqir Marzuki yang dikenal dengan Datuk Biru,” kata pria berumur 75 tahun itu.
Menurut Yunus, masyarakat Betawi Rawa Bunga sangat moderat dan bertoleransi tinggi. Selain Masjid Jami Al-Anwar, di sana juga ada Kelenteng Bio Shia Djin Kong yang dibangun Tung Djie Wie, tabib Tionghoa yang hijrah ke Indonesia. Rumah ibadah itu sudah berdiri lebih dari 70 tahun.
Selain itu, ada nama Hek Kramat Jati yang juga memiliki kisah khas. Wilayah Hek dikenal dengan pertigaan di Jalan Raya Bogor menuju Kramat Jati dan Pondok Gede. Hek, ungkap Alwi, diambil dari istilah Belanda yang berarti pagar. Di kawasan Hek pada era kolonial, terdapat sebuah pagar dengan bentuk runcing yang terbuat dari kayu bulat. “Pagar itu digunakan sebagai jalan keluar masuk kompleks peternakan sapi. Kawasan itu dulunya dikenal hasil peternakan, susu sapi segar untuk konsumsi orang-orang Belanda,” jelasnya. (MI)