Menurut dia, pemerintah ada kesan menghindari kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan dasar warga selama adanya pandemi Covid-19.
Hal tersebut, kata dia, terlihat dari berbagai istilah kebijakan pembatasan yang diterapkan pemerintah dari sejak awal hingga kini.
Itu seperti menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), kemudian kini pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat.
Padahal, dalam UU 6 Tahun 2018 diatur soal karantina wilayah ketika terjadi kedaruratan kesehatan.
Dalam UU itu pula disebutkan, bahwa selama karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang ada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
“Jadi, ketika pembatasan pemerintah gunakan yang lain, jelas itu maksudnya untuk mengakali hukum agar kewajiban yang ada di UU 6/2018 tidak dipenuhi pemerintah dan tidak diberikan kepada masyarakat,” ucap Asfin.
Lebih lanjut, Asfin berpendapat, bahwa pendekatan yang diambil pemerintah dalam menangani pandemi cenderung pakai cara represif dengan mengerahkan aparat penegak hukum.
Menurut Asfin, pemerintah masih menggunakan paradigma kuno, yaitu menganggap situasi darurat kesehatan ini sama dengan darurat sipil atau militer.
“Kami menyesalkan ketika UU 6/2018 itu sudah demikian maju, itu UU yang sangat progresif,” ucapnya.
“Tapi kok tiba-tiba pejabat publik mengembalikan kedaruratan dalam kacamata kuno, dalam kacamata keamanan atau bahkan pertahanan negara.”
Menurut Asfin, jika persoalannya adalah kedaruratan kesehatan, mestinya kebijakan yang diambil pemerintah adalah pendekatan kesehatan, bukan keamanan.
Karena itu, Asfin menegaskan, mengambil kebijakan dengan cara pendekatan keamanan dalam menangani pandemi tidak akan berhasil.
“Kedaruratan kesehatan masyarakat ini harus didekati dengan persoalan kesehatan dan tidak akan berhasil dengan pendekatan pertahanan dan keamanan, selain argumen HAM terkait kebebasan pastinya,” kata Asfin. (kompas)