William Liddle: Indonesia Tidak Penting Bagi AS

Betapa rendahnya Indonesia di mata para pemimpin AS saat ini, termasuk Barack Obama, meskipun tetap melakukan kunjungan ke Indonesia, tetapi Indonesia tidak memiliki ‘leverage’ (nilai tawar). Pasca era Perang Dingin, Indonesia bagi AS sekarang tidak lagi memiliki nilai strategis, Indonesia tidak lebih negara miskin, yang tidak dapat dimanfaatkan apa-apa bagi kepentingan AS.

Sekalipun Indonesia yang memiliki posisi strategis secara geopolitik, dan dengan jumlah penduduknya 240 juta, mayoritas muslim, tetapi bukanlah negara pertama yang dikunjungi oleh Obama. Pertama negara muslim yang dikunjungi Obama Turki, Mesir, kemudian Saudi Arabia.Urut-urutan ini menandakan bahwa negara-negara yang pertama dikunjungi oleh Obama itulah yang dipandang mempunyai nilai strategis.

Indonesia baru belakangan dikunjungi oleh Obama, bersamaan dengan lawatannya ke Asia. Itupun sesudah ditunda beberapa kali. Kunjungan Obama ke Jakarta pun, sangat singkat dibandingkan dengan kunjungan ke negara lain, termasuk seperti di India, yang berlangsung selama tiga hari. Di Indonesia, Obama hanya menginap satu malam, sesudah itu ia akan meninggalkan Jakarta.

Di mata pemimpin AS, seperti Obama, tak lain, Indonesia negara miskin, yang masih sangat jauh dibandingkan dengan AS. Indonesia belum masuk bilangan negara ‘midle’, tetapi masih termasuk negara ‘under development’ (negara terbelakang). Maka, kunjungan Obama ke Indonesia hanyalah ‘basa-basi’, yang tidak memiliki nilai-nalai apa, khususnya bagi kepentingan masa depan Indonesia.

Hal ini seperti dituturkan oleh Prof. William Liddle, seorang Indonesianis, dan seorang Yahudi, yang menggambarkan pandangan khasnya, tentang bagaimana Indonesia di mata para pemimpin AS, di mana  kunjungan Obama ke Jakarta, hanyalah untuk menyanyikan lagu dan orkestra, yang klasik, yaitu memerangi : ‘terorisme’ secara global, dan Indonesia akan didorong untuk bertindak memerangi terorisme dan kaum radikal di Indonesia, seperti yang dituturkan oleh Liddle.

Tetapi, mengapa para pemimpin Indonesia masih menganggap penting kunjungan Obama ke Jakarta ini?

Di bawah ini pandangan Liddle tentang Indonesia yang memandang begitu rendah, yang dimuat oleh Kompas, 3 Nopember lalu :

Prof. William Liddle :

Barack Husein Obama adalah Presiden Amerika Serikat pertama yang sempat tinggal di Indonesia pada masa kecilnya. Ketika beliau dilantik hampir dua tahun silam, kepeduliannya kepada Indonesia diharapkan lebih besar ketimbang pendahulu-pendahulunya di Gedung Putih.

Sebagai pengamat yang sudah manula, yang sempat menilai kebijakan semua presiden AS kepada Indonesia sejak John F. Kennedy, saya sendiri pada awalnya tidak meragukan keistimewaan Obama dalam hal ini.

Namun, kepedulian seseorang secara pribadi dan perhatiannya sebagai presiden adalah dua hal yang bisa berbeda jauh. Dalam hubungan Indonesia-Amerika, ada alasan kuat untuk bersikap skeptis terhadap dampak jangka panjang kunjungan Obama, yang telah tertunda berkali-kali dan kini dijadwalkan hanya satu atau dua hari saja.

Singkat saja: posisi Indonesia terletak jauh di bawah posisi Amerika dalam percaturan politik global masa kini. Di panggung dunia, Indonesia belum menjadi pemain sedang, apalagi besar. Lebih terperinci, sumber daya politik yang dimiliki Indonesia dan bisa dimanfaatkan untuk membantu atau melawan Amerika, tentu demi mengajukan kepentingan Indonesia sendiri, masih sangat sedikit dibandingkan dengan negara-negara lain. Kenyataan itu berarti bahwa Indonesia gampang dilupakan atau dikesampingkan pemain lain.

Reputasi melonjak

Contoh penting adalah bidang ekonomi. Salah satu keperluan utama Amerika kini adalah pemulihan laju pertumbuhan ekonomi dalam negeri setelah keguncangan krisis perbankan tiga tahun lalu. Terus terang saja, di Asia hanya China yang bisa membantu kami. Ekonominya bertumbuh pesat setelah pergeseran kebijakan ekonomi dari komunis ke kapitalis tiga dasawarsa lalu. Jadi, tidak sulit dipahami kalau Obama memprioritaskan China dalam perjalanan pertamanya ke Asia tahun lalu. Seandainya bank-bank Indonesia berlimpah dollar, Obama pasti sudah lama mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma.

Contoh penting kedua adalah konflik Amerika dengan gerakan-gerakan Islam radikal yang mengancam keamanan nasional kami. Negara saya sedang berperang di Irak dan Afganistan yang bisa dirunut pada serangan Al Qaeda di New York dan Washington pada 11 September 2001. Sejak itu, masyarakat Amerika merasa amat terancam oleh kelompok Islam radikal. Perlawatan Obama ke India kini harus dilihat sebagian dalam rangka itu sebab kerja sama Pakistan, musuh bebuyutan India selama puluhan tahun, sangat diperlukan dalam perang Amerika di Afganistan. Harapan Obama, obsesi Pakistan dengan ancaman India bisa diredakan sedikit demi sedikit kalau Amerika menjadi perantara di belakang layar.

Sejauh mana Indonesia bisa membantu Amerika, sekali lagi dalam rangka mengajukan kepentingannya sendiri? Selama ini, khususnya sejak awal masa pemerintahan Presiden Yudhoyono tahun 2004, usaha-usaha dua pemerintahan kita terjalin rapat, khususnya terhadap kelompok Islam radikal. Banyak gembong Jemaah Islamiyah yang terlibat tindakan teroris dibunuh atau ditangkap dan diadili. Reputasi Indonesia melonjak sebagai negara bermayoritas Muslim yang paling berhasil melenyapkan jaringan teroris.

Namun, kerja sama dalam bidang ini terbatas. Indonesia adalah masyarakat Muslim terbesar di dunia serta negara demokratis terbesar ketiga, setelah India dan Amerika. Namun, hal itu tidak berimplikasi bahwa Indonesia berpengaruh di Timur Tengah, Asia Tengah dan Selatan, tempat tinggal sebagian besar umat Islam di dunia. Klaim banyak pengamat dan pejabat bahwa Indonesia adalah semacam role model, suri teladan, bagi kekuatan prodemokrasi di dunia Muslim sama sekali tidak bergema di negara-negara bersangkutan. Pidato pertama Obama yang dialamatkan kepada umat Islam diucapkan di Kairo, bukan di Jakarta. Mesir diakui umum sebagai salah satu pusat peradaban Islam meskipun kini dikuasai diktator kejam yang tidak disukai di Washington.

Lebih sabar

Pembaca Indonesia, harap jangan salah sangka. Saya tidak bermaksud menyepelekan Indonesia atau kunjungan presiden saya. Justru sebaliknya: saya ingin menaruh kunjungan tersebut dalam kerangka realistis agar orang Indonesia menjadi lebih sabar sekaligus lebih gesit dalam pendekatannya kepada pemerintahan Obama.

Setelah jatuhnya Orde Baru, Indonesia sudah masuk sepenuhnya dalam sebuah proses modernisasi bersejarah yang akan menentukan masa depannya selaku negara kebangsaan dan pemain internasional yang berbobot. Proses itu mengandung dua dimensi utama: pendirian lembaga-lembaga politik yang demokratis serta lembaga-lembaga ekonomi yang ramah kepada pasar domestik dan global.

Pemerintah Amerika, di bawah seorang presiden yang bersimpati secara pribadi, bisa membantu banyak, misalnya melalui proyek-proyek bersama yang sedang ditingkatkan atau dirumuskan baru di bidang-bidang pendidikan, perlindungan lingkungan alam, perubahan iklim, perdagangan, dan penanaman modal.

Namun, hasil maksimal akan bergantung kepada kesadaran orang Indonesia bahwa Amerika, termasuk presidennya, gampang terdistraksi. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat Indonesia sebaiknya bersikap eling dan waspada, bersiap-siap terus untuk mengelola dan mengarahkan kebijakan Amerika demi pencapaian tujuan-tujuan Indonesia.

R William Liddle Profesor Ilmu Politik, The Ohio State University, Columbus, Ohio, AS