Dolar AS Kembali Mengamuk
Nilai tukar dolar AS terhadap rupiah akhirnya kembali menguat pada siang hari. Dolar AS menguat ke angka Rp 14.825 ataiu naik dari posisi Rp 14.760 pada pagi hari.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan penyebab pelemahan nilai tukar rupiah ini adalah faktor eksternal yakni normalisasi kebijakan bank sentral Amerika Serikat. Kondisi pelemahan rupiah diproyeksi baru berakhir jika normalisasi kebijakan suku bunga The Fed berakhir dan kinerja ekonomi domestik khususnya neraca perdagangan membaik.
“Ada potensi pelemahan nilai rupiah bahkan menembus level psikologis 15.000,” ujar Bhima.
Mata uang rupiah sensiri sudah tertekan sebanyak 1.563 poin (11,6%) terhadap dolar AS terhitung sejak awal tahun hingga saat ini (year to date).
Fakta tersebut membuat rupiah pada tahun ini menjadi salah satu mata uang berkinerja terburuk di Asia. Hal itu didorong dengan defisit transaksi berjalan hingga krisis lira Turki yang mengakibatkan kekacauan di pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Rupiah Terlemah Sejak Krismon 1998
Dikutip detikFinance dari CNBC, Senin (3/9), nilai tukar rupiah yang menyentuh 14.777 per dolar AS saja telah menyentuh level terlemahnya sejak tahun 1998. Jatuhnya rupiah ke level terlemahnya terhadap dolar dalam lebih dari 20 tahun terakhir, mendorong Bank Indonesia (BI) untuk turun langsung mengintervensi ke pasar keuangan.
“Kepemilikan asing yang tinggi pada obligasi, ditambah dengan utang perusahaan Indonesia dalam dolar yang meningkat juga membuat rupiah cenderung lebih lemah,” kata kepala ekonomi dan strategi di Mizuho Bank Vishnu Varathan.
Menurut data Moody’s, pemerintah Indonesia tercatat memiliki sekitar 41% utang dalam mata uang asing. Jika rupiah terdepresiasi lebih lanjut, maka utang itu akan lebih mahal untuk dibayar kembali.
“Jika kenaikan kredit meningkat lebih lanjut (risiko pasar berkembang) dan harga minyak tetap tinggi menjelang sanksi Iran, risiko nilai tukar rupiah 15.000 adalah bahaya yang jelas,” kata Varathan.
Ketika harga minyak naik, maka akan berkontribusi pada peningkatan tagihan impor negara. Upaya intervensi sendiri dianggap tak terlalu efektif.
“Otoritas telah secara aktif mendukung (valuta asing) dan pasar obligasi, selama serangan volatilitas baru-baru ini. Di tengah-tengah penurunan yang lebih luas dalam mata uang regional, upaya intervensi memang membantu untuk memperlancar downdraft tetapi akan menjadi tantangan untuk membalikkan arah,” kata Ekonom DBS Radhika Rao.
Hati-hati, Dolar AS Masih akan ‘Ngamuk’
Dolar AS diprediksi masih akan melanjutkan tren penguatan seiring dengan rencana Federal Reserve menaikkan dua kali lagi bunga acuannya hingga akhir tahun. BI sendiri telah melakukan beberapa intervensi sejauh ini seperti menaikkan suku bunga acuan hingga empat kali sejak Mei sampai Agustus. BI juga telah menekan cadangan devisa untuk membeli rupiah di pasar valas.
Dengan cadangan devisanya berkurang, pemerintah juga memberlakukan pembatasan impor karena akan menahan defisit neraca berjalannya, yang mengukur arus barang, jasa, dan investasi masuk dan keluar dari Indonesia. Impor yang lebih sedikit juga mengurangi kebutuhan untuk menjual rupiah untuk membeli lebih banyak mata uang asing untuk memenuhi kebutuhannya.
Namun Chief investment officer Deutsche Bank Wealth Management untuk Asia Pasifik Tuan Huynh, menulis dalam laporannya bahwa defisit transaksi berjalan Indonesia membuat rentan terhadap krisis pendanaan. Dia mencatat defisit transaksi berjalan melebar menjadi US$ 2 miliar pada bulan Juli, atau defisit bulanan terbesar sejak Juli 2013.
“Pemicu utama untuk kenaikan suku bunga lebih lanjut akan menjadi penguatan lebih lanjut dari USD. Untuk saat ini, pasar melihat Indonesia bekerja keras untuk menjaga stabilitas makroekonomi, misalnya menaikkan suku bunga lebih untuk menangkis volatilitas nilai tukar dan mempertahankan konsolidasi fiskal,” katanya. [dtk]