Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) meminta pemerintah tidak terburu-buru memutuskan masa depan industri udang Dipasena. Selain kerusakan lingkungan, dampak industri ini adalah musnahnya ekosistem hutan mangrove.
"Juga menurunnya kualitas perairan dan lahan, yang telah menyebabkan menurunnya kualitas hidup petambak plasma, dengan jumlah petambak plasma berkisar 9. 033 penambak, " papar M. Riza Damanik, Manager Kampanye Pesisir dan Laut di Kantor WALHI, Jl. Tegal Parang, Jakarta Selatan. Jum’at (25/5).
Kerusakan lingkungan, sambungnya, juga telah menyebabkan terjadinya bencana rasi, sedimentasi, dan penggaraman air tanah (salination) baik di dalam maupun sekitar perusahaan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, katanya, tidak hanya di dalam perusahaan, permasalahan ini juga memicu konflik diluar perusahaan. "Masyarakat nelayan yang berada di sekitar perusahaan merasa dirugikan pasca pencemaran yang diakibatkan oleh buangan air tambak perusahaan ke sungai hingga laut, yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya tangkapan ikan mereka. "
“Untuk itulah, seharusnya pemerintah menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan komitmen dari semua pihak guna melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak penambak plasma dan masyarakat di sekitar perusahaan, serta menjamin dilakukannya pemulihan lingkungan secara menyeluruh” saran Riza, yang juga Koordinator Asia Solidarity Againts Industrial Aquaculture (ASIA)
Dijelaskannya, saat ini ada empat investor yang berminat membeli tambak udang itu. Yakni, Konsorsium Laranda (Filipina), PT Central Proteinaprima (kelompok Charoen Pokphand Thailand), Thai Royal (Thailand), dan PT Kemila International Holding Co (Indonesia).
Mereka boleh ikut tender dengan syarat utama, bahwa perusahaan minimal lima tahun bergerak dalam budi daya udang, dan bisa menunjukkan bukti kemampuan modal minimal Rp 1, 7 triliun paling lambat 21 Mei 2007. (dina)