Di negara-negara lain yang demokratis juga ada pasal makar. Di dalam KUHP Jerman, misalnya, yang setara dengan pasal 107 KUHP kita adalah pasal 81 KUHP Jerman. KUHP Jerman memakai istilah “force”, kekuatan. Jadi, untuk bisa dipidana dengan tuduhan melakukan upaya penggulingan pemerintah, memang harus ada kekuatan yang nyata, baik serangan memakai senjata maupun tidak. Tanpa adanya serangan, tak bisa disebut sebagai makar.
Penggunaan istilah “people power” dalam dunia politik kita sebenarnya adalah hal biasa. Pada tahun 2014 tim kampanye Jokowi juga menggunakan ancaman “people power” untuk meminta jaminan Pemilu diselenggarakan secara jujur dan adil. Bisa dicek. Jejak digitalnya masih ada. Bahkan, relawan Jokowi mengeluarkan buku resmi berjudul “people power” untuk mengagitasikan kemenangan tokoh yang didukungnya.
Apakah waktu itu aparat kepolisian merespon pernyataan-pernyataan tentang “people power” itu sebagai makar? Kan tidak!
Hari ini kita masih hidup di Indonesia yang sama, dengan hukum yang sama, lembaga kepolisian yang sama, sistem ketatanegaraan yang sama, tapi kenapa saat ada orang meneriakkan kata “people power”, yang maksudnya sama dengan teriakan pada 2014 lalu, untuk mengawal Pemilu dan mengamankan suara rakyat, kemudian tiba-tiba dianggap sebagai makar? Ini adalah bukti jika aparat kepolisian tak lagi obyektif dan bekerja berdasarkan hukum.
Seingat saya, terakhir kali pasal makar digunakan untuk menjerat aktivis adalah pada 1998, pada masa rezim Habibie. Tuduhan makar itu diberikan kepada Letjen (purn) Kemal Idris dan kawan-kawan, yang tergabung dalam Barisan Nasional, yang dianggap telah melakukan perbuatan makar. Itupun, aparat kepolisian kemudian tidak mengenakan pasal-pasal yang berkaitan dengan tindakan makar, tetapi pasal-pasal permufakatan.
Di masa-masa sesudahnya, tuduhan makar hanya digunakan kepada anasir gerakan separatis, dan tidak lagi digunakan kepada gerakan protes yang bersifat umum.