Jika merujuk kepada KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Indonesia, kata “makar” sebenarnya merupakan serapan atas kata “anslaag” dari bahasa Belanda. Di sini ada catatan penting. Penyerapan “anslaag” sebagai “makar” itu pun sebenarnya bermasalah. Sebab, seharusnya konsep “anslaag” diterjemahkan sebagai “penggulingkan pemerintah dengan kekerasan”.
Jadi, hanya upaya untuk menggulingkan pemerintah dengan kekerasan saja yang bisa dikenai pasal “anslaag”. Gerakan massa, sebesar apapun, jika tanpa kekerasan, dan tak dimaksudkan untuk menggulingkan kekuasaan, tak bisa dikenai pasal “anslaag”.
Masalahnya adalah karena kata “anslaag” diserap sebagai “makar” dalam bahasa Indonesia, maka pengertian “anslaag” dalam sistem hukum kita akhirnya jadi rancu, alias multitafsir. Itu sebabnya pasal makar jadi mudah sekali dijadikan pasal karet oleh penguasa. Padahal, konsepsi hukum pidana tak boleh diartikan lentur, tidak boleh dua arti. Harus penafsiran tunggal.
Di dalam KUHP sendiri ada berbagai jenis pasal makar. Beberapa di antaranya Pasal 104 KUHP tentang makar keselamatan Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 106 KUHP makar wilayah negara, Pasal 107 KUHP makar pemerintahan, Pasal 139a makar wilayah negara sahabat, Pasal 139b makar pemerintahan sahabat, Pasal 140 makar raja atau kepala negara sahabat.
Nah, kalau kita baca, pasal mana yang bisa menghubungkan penggalangan massa untuk melakukan protes umum, atau “people power”, dengan kata “makar”? Tidak ada! Tak ada satupun jembatan pengertian yang bisa menghubungkan kata “people power” dengan kata “makar”.
Jadi, apa sebenarnya dasar aparat bertindak memanggil orang, menangkap orang, menuduh orang, sebagai pembuat makar? Padahal, orang-orang tadi tak pernah melakukan serangan, atau “violence attack” untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah.