Gabungkan PAI dengan PKn Tidak Mencerminkan Budaya Bangsa

Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya berkisah, sepulang dari Inggris dia membawa buku pelajaran agama untuk SMP. Karena siswanya banyak dan agamanya berbeda-beda, satu buku pelajaran agama itu membuat aneka ajaran agama. “Di dalamnya ada pelajaran agama Kristen, Katolik, Konghucu, Islam, Hindu, Budha, dan agama lainnya dalam satu buku,” urainya.

 

Zainuddin mengatakan, UU Sisdiknas sebenarnya juga mengacu konsep seperti itu. Siswa belajar mata pelajaran agama sesuai dengan agama yang dianut. Misalnya, ada di sebuah madrasah siswa beragama Katolik, maka madrasah itu harus juga menyediakan pelajaran dan pengajar beragama Katolik, walaupun hanya untuk satu siswa.

“Begitu juga sebaliknya, kalau ada orang Islam sekolah di sekolah Katolik maka di sekolah itu harus mengajarkan agama Islam untuk siswa tersebut. Di Inggris seperti itu, bukunya masih saya simpan sampai sekarang,” katanya.

Jika negara seperti Inggris saja menempatkan agama secara khusus, kata Zainuddin, Indonesia yang punya akar budaya bangsa religius, sudah seharusnya menempatkan pendidikan agama di dalam kurikulum secara proporsional .

Karena ide dan gagasan tersebut belum digulirkan dan konsepnya belum menjadi konsumsi publik secara luas, Zainuddin berharap agar tidak muncul pemikiran tersebut. Karena, kurikulum di Indonesia harus disusun berangkat dari akar budaya bangsa yang religius.

“Saya tidak menganggap Kemendikbud sudah punya pemikiran seperti itu, saya anggap Kemendikbud tidak punya pemikiran seperti itu. Tetapi kalau ada pemikiran seperti itu maka ini sama dengan mencerabut pendidikan dari akar budaya bangsa yang religius,” pungkasnya. (sn)