UU Perkawinan Bertentangan dengan Al-Quran

Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang uji materiil UU No. 1/1974 tentang perkawinan terhadap UUD 1945. Sidang uji materiil UU Perkawinan yang diadakan Kamis(23/8), mengagendakan penyampaian pendapat ahli baik dari pemohon, maupun dari pemerintah tentang ketentuan poligami dalam UU No. 1/1974.

Dalam persidangan, Ahli dari pemohon Eggi Sudjana menilai, azas monogami yang terkandung UU No. 1/1974 bertentangan dengan azas poligami yang diperbolehkan oleh Al-Quran, selain itu dalam konteks ajaran Islam hak itu bertentangan dengan hak asasi yang sudah melekat kepada diri seorang muslim.

"Saya ingin menegasakan bahwa pemberlakukan pasal ini, apabila dilihat dalam konstruk agama Islam sangat melanggar HAM, yang sejak lahir sudah ada. Karena itulah, saya akan membuat penyadaran atau sentuhan hati nurani kepada orang-orang yang beriman, " ujarnya dalam persidangan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Ahli pemohon juga menganggap, UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia mempersulit proses terjadinya perkawinan, yang sesungguhnya haruslah dipermudah untuk terjaganya martabat manusia yang mulia agar tidak terjerumus dalam perzinahan, perselingkuhan atau pelacuran, namun justru mempermudah perceraian yang sesungguhnya amat dibenci Allah.

Dan dari sisi administrasi, Eggy menegaskan, anak-anak yang terlahir dari poligami mengalami kesulitan memperoleh hak-hak dalam mengakses pendidikann, oleh karena itu Majelis Hakim Konstitusi diminta dapat mengabulkan pengajuan uji materiil dari pemohon dengan membatalkan UU No. 1/1974.

"Kalau pemerintah tidak mau dianggap kafir, dzalim, atau fasik, maka UU No. 1/1974 harus dinyatakan tidak berlaku lagi dan batal demi hukum, karena bertentangan dengan UUD 1945. MK perlu menyelamatkan pemerintah dan DPR yang telah salah jalan menentang hukum Allah, yang memperbolehkan poligami, tapi dilarang dalam UU No. 1974, " tandasnya.

Berbeda dengan itu, Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Nazaruddin Umar menyatakan, meski pun UU Perkawinan berazas monogami, namun UU itu tidak menutup kesempatan kepada muslim yang akan melakukan poligami.

"Kami terkesan seolah-olah pemohon mengopinikan bahwa UU No. 1/1974 tertutup sekali praktek poligami, padahal UU Perkawinan tetap memberikan kesempatan kepada mereka yang ingin berpoligami, hanya dengan persyaratan-persyaratan tertentu, "imbuhnya.

Ia menjelaskan, berdasarkan data dari Direktorat Peradilan Agama pada Mahkamah Agung bahwa pengadilan agama diseluruh Indonesia telah mengeluarkan izin poligami setiap tahunnya, di antaranya pada tahun 2004 telah dikeluarkan sebanyak 809 izin poligami dari 1. 016 pemohon, tahun 2005 sebanyak 803 izin poligami dari 989 pemohon, dan tahun 2006 sebayak 776 izin poligami dari 1.148.

Sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua HM. Laica Marzuki ini, di samping menghadirkan saksi ahli dari pihak pemohon dan pihak pemerintah, juga menghadirkan para pihak terkait antara lain, Komnas Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, dan beberapa LSM yang konsen dengan masalah tersebut. Seluruhnya dari kalangan feminis yang selama ini dikenal sangat anti terhadap poligami apa pun alasannya. (rz/novel)