UU Migas Dibuat Dalam Tekanan IMF

Undang-undang Migas No. 22 tahun 2001 dibuat ketika posisi Indonesia dalam tekanan IMF, sehingga kepentingan asing benar-benar ada dalam pembahasan UU ketika itu, dimana UU tersebut mengkooptasi UUD 1945 pasal 33. Hal tersebut dikatakan Inisiator Amandemen UU Migas Ana Muawanah, di Jakarta.

Ia mengatakan, saat ini badan legislasi (Baleg) DPR sudah mulai membahas revisi UU Migas. Baleg juga sudah dalam tahapan finalisasi untuk selanjutnya diharapkan dapat dimasukan dalam program legislasi nasional (prolegnas 2009).

"Amandemen UU Migas no 22 tahun 2001 ini sudah sangat mendesak. Ini karena terbukti UU itu sudah tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini, dan juga karena banyak menimbulkan masalah," ujar Anggota DPR F-PKB itu.

Dijelaskan, Tim pengusul telah membahas perubahan sebanyak 7 pasal dari UU tersebut yang isinya antara lain pembatasan lama kontrak dan perpanjangannya, serta mengenai diperlukannya persetujuan DPR dalam menyepakati sebuah perjanjian terlebih perjanjian itu menyangkut hajat hidup orang banyak. "Dalam UUD tertera kalau negara membuat perjanjian dengan negara lain harus dengan persetujuan DPR," tegasnya.

Sementara itu Direktur Eksekutive Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, carut marutnya kebijakan energi Indonesia karena tidak adanya sinergi antara Kementrian dan BUMN energi yang terkait. Carut marut impor minyak juga sudah banyak dibicarakan seperti mengenai mafia impor minyak yang menjalankan dengan sistem kartel.

"Contohnya seperti perusahaan yang terdaftar di pertamina ada 15 yang menjadi importir minyak. Namun hanya ada 5-7 perusahaan yang selalu menang dalam proses tender," ujarnya.

Ia menjelaskan, adapun kemenangan mereka pun telah diatur seperti arisan. Mereka menggunakan sistem Kartel karena setiap tender mereka dipatok keuntungan 2 dolar perbarel. Satu dolarnya mereka bagikan kepada yang kalah. Ini sistem yang sudah lama terjadi sampai kini. (novel)