UU Kewarganegaraan Akui Anak Hasil &#039Hubungan Gelap&#039

Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan akhirnya disahkan menjadi UU kewarganegaraan pada Sidang Paripurna DPR RI yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Soetardjo Soerjogoeritno di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Selasa (11/7).

Seluruh fraksi mendukung UU Kewarganegaraan tersebut sebagai UU baru menggantikan UU No 62 Tahun 1958 yang dinilai diskriminatif.

Tapi, ada yang ‘unik’ dalam dalam UU ini, yakni, anak yang lahir di luar nikah (hubungan gelap alias kumpul kebo) juga termasuk dalam kategori WNI. Seperti dijelaskan dalam pasal 4 poin (g) bahwa salah satu kriteria WNI adalah "anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI."

Begitu juga pada pasal 4 poin (h) yang berbunyi, ”Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya, dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak itu berusia 18 tahun, atau belum kawin," adalah tetap WNI.

Dalam UU ini presiden bisa memberikan kewarganegaraan bagi orang asing yang berjasa kepada RI. Jasa tersebut dinilai atas prestasinya yang luar biasa di bidang kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan dan lingkungan hidup seperti dalam (pasal 20). Syaratnya, prestasi tersebut memberikan kemajuan dan keharuman nama Indonesia di dunia internasional.

Presiden juga dapat memberi status kewarganegaraan kepada orang asing karena alasan kepentingan negara. Kategori dengan "alasan kepentingan negara" ini dimaksudkan adalah orang asing yang dinilai oleh negara telah dan dapat memberi sumbangan yang luar biasa untuk kedaulatan negara. Selain itu juga untuk meningkatkan kemajuan, khususnya di bidang perekonomian.

UU baru ini, menurut Ketua Pansus RUU Kewarganegaraan Slamet Effendy Yusuf, adalah merupakan terobosan baru bahkan revolusioner yang mengatur antara lain tentang WNI, syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan, tentang kehilangan kewarganegaraan, syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan, serta ketentuan-ketentuan pidana bagi pejabat dan pemohon kewarganegaraan.

Di tengah pengesahan RUU tersebu, kaum perempuan yang tergabung dalam Keluarga Perkawinan Campuran (KPC) Melati menangis dan saling berpelukan. Ketika palu diketok mereka langsung mengibarkan bendera merah putih sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kebanyakan perempuan itu tidak bisa membendung rasa senangnya dengan pengesahan UU itu.

Koordinator KPC, Aramurad menyatakan sangat senang dengan hasil rapat paripurna DPR. “Bahwa dengan pengesahan RUU ini maka hak-hak saya dan teman-teman keturunan akan diakui menjadi warga negara Indonesia (WNI) dan tidak harus terus lapor setiap tahun karena belum menjadi WNI. Saya berharap perlakuan diskriminatif sudah tidak ada lagi,” akunya. (dina)