Di antaranya ada kewenangan daerah yang dikembalikan, regulasi ketenagakerjaan yang direvisi untuk mengakomodasi tuntutan buruh, klaster pendidikan yang sebagian besar dihapuskan, dan sebagainya.
Dalam draf terbaru, tak seperti yang disampaikan Indra Iskandar, bukan tanda baca dan typonya saja yang berubah. Dari perbandingan dengan draf selepas sidang paripurna, redaksional naskah juga berubah.
Di klaster Ketenagakerjaan, perubahan yang dilakukan tergolong signifikan. Di antaranya, perubahan soal waktu cuti pada Pasal 79 UU Ketenagakerjaan ditambahi satu poin huruf, yakni “Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selain itu, upah satuan waktu yang sempat jadi keberatan serikat buruh juga masih ada dalam draf terbaru. Perubahan naskah juga cukup banyak dalam pasal-pasal mengenai PHK. Dalam perubahan Pasal 154A, ada tambahan “dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh”.
Selain itu, efisiensi sebagai alasan PHK juga ditambahi kalimat “diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian”.
Alasan penutupan perusahaan sebagai alasan PHK juga ditambahi kalimat “yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun”.
Kemudian dalam tambahan aturan Pasal 154A, poin bahwa “perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh” sebagai alasan PHK dihapuskan. Dalam draf terbaru, pasal tersebut kemudian dielaborasi lebih terperinci.
Di antaranya, pemutusan hubungan kerja dengan alasan perbuatan merugikan oleh perusahaan harus diajukan oleh pekerja. Jenis tindakan yang merugikan juga dirinci seperti penganiayaan, penghinaan, ajakan melawan hukum, tak membayar upah lebih dari tiga bulan, melanggar perjanjian pada para pekerja, serta memberikan pekerjaan membahayakan jiwa dan kesehatan serta kesusilaan yang tak tercantum dalam perjanjian kerja.