Kalau begitu, ada apa?
Hanya satu jawaban yang paling masuk akal: bahwa sekarang ini UAS sudah mulai “dimusuhi” oleh para pemegang kekuasaan. Siapakah orangnya? Kita semua tentu sama-sama mencari siapa gerangan. Tapi, kita juga tidak terlalu sulit untuk menebak dengan presisi yang tinggi. Anda semua pasti bisa memahami siapa mereka.
Lantas, mengapa para pemegang kekuasaan mulai “memusuhi” UAS? Sederhana saja: bahwa UAS dengan gaya ceramahnya dan penolakannya untuk dikooptasi oleh penguasa, membuat para pemegang kekuasaan merasa ada “bola salju” yang sedang bergulir ke arah pemangku kekuasaan yang ingin melanjutkan kekuasaan.
Dengan kata lain, UAS berpotensi menjadi “vote getter” untuk pihak yang bakal menjadi lawan penguasa. Kalau UAS dibiarkan menjadi magnet yang mampu menyatukan suara pemilih, itu berarti para pemegang kekuasaan harus bekerja lebih keras lagi untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Saya bahkan yakin pihak pemegang kekuasaan sudah sampai pada kesimpulan bahwa UAS, praktis, sudah mulai “berkampanye” untuk pihak yang berseberangan dengan penguasa. Berkampanye dalam arti luas, tentunya. Meskipun, faktanya, UAS tidak pernah menyampaikan isyarat apa pun juga terkait percaturan politik di Indonesia.
Bagian dari paranoia? Bisa jadi juga! Filosof dan sejarawan Italia abad ke-16, Niccolo Machiavelli, beteori bahwa manusia itu selalu punya ambisi dan ingin mencapai ambisinya dengan segala cara.
Dalam terjemahan Inggris, dia mengatakan: “Man rise from one ambition to another. First, they seek to secure themselves against attack, and than they attack others”. (“Manusia itu bangkit dari satu ambisi ke ambisi berikutnya. Mula-mula mereka mengamankan diri dari serangan, dan kemudian mereka menyerang orang lain”).
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior)