Solo, (forum-alishlah.com) – Setelah gencar dengan aksi perburuan terhadap para anggota jaringan terorisme, pemerintah (dalam hal ini BNPT dan Densus 88) kembali mengusik ketenangan beragama, khususnya bagi umat islam dengan mewacanakan adanya sertifikasi terhadap para Ulama.
Ide tersebut merupakan rentetan dari kelanjutan perang melawan faham-faham agama yang di nilai bersifat Radikal oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan instansi terkait. Munculnya serangkaian aksi teror dan penerjunan anggota Densus 88 keberbagai tempat yang di curigai sebagai basis terorisme, berujung pada lahirnya suatu cap terhadap para ulama yang lagi-lagi “dianggap” telah mengajarkan faham radikal.
Hal ini kemudian hendak di jadikan dasar untuk memberikan standarisasi, patut tidaknya seseorang itu disebut sebagai ulama menurut kriteria yang di tetapkan oleh Negara. Berkenaan dengan hal itu, akhirnya muncul banyak penolakan tentang “ide gila” tersebut baik dari masyarakat, maupun para ulama itu sendiri dari berbagai macam ormas islam yang ada di Indonesia.
Menurut Ustadz DR. Mu’inudinillah Basri, MA. kepada Kru FAI senin malam lalu 10/9/2012 dikediamannya, jika wacana sertifikasi ulama itu bertujuan untuk memperkenalkan mana sebetulnya ulama khoir (baik) dan mana ulama suu’ (buruk dan jahat), maka hal ini tidak menjadi suatu masalah di kalangan para ulama.
Bahkan Dosen Pemikiran Islam yang sekaligus bertindak sebagai Direktur Program Magister Pasca Sarjana Studi Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) ini menyatakan, jika seritifikasi tersebut menjadi suatu dasar bagi lembaga Negara Indonesia yang notabenya bukan Negara islam untuk memberikan cap atau label apakah seseorang itu pantas disebut ulama atau tidak, maka hal ini tidak bisa di benarkan.
“Masak Ulama di labelisasi oleh orang yang bukan ulama?”, tuturnya singkat sembari tersenyum.
Menurutnya, ulama adalah orang yang ahli dalam bidang ilmu agama dan orang yang memiliki kapasitas pengetahuan sama dengan para ulama lainnya. Maka dengan hal tersebut, beliau kemudian menambahkan bahwa seseorang itu dapat dikatakan sebagai ulama melalui rekomendasi dan kalau ada pengakuan dari ulama yang lainnya.
Sehingga, ketua FUJAMAS (Forum Ukhuwah Jama’ah Masjid Surakarta) sekaligus ulama muda ini menegaskan kembali bahwa bukan hak Negara untuk melabelisasi seseorang itu menjadi ulama atau tidak. Maka yang bisa melabeli seseorang itu ulama adalah berdasarkan rekomendasi para ulama dunia.
Lebih lanjut pihaknya menilai jika wacana sertifikasi ulama ini menimbulkan keresahan di dalam tubuh umat islam, maka ini merupakan teror dari Negara terhadap umat islam. “Jika hal tersebut (jadi-red) dilaksanakan dan (kemudian-red) meresahkan serta memecah belah persatuan kaum muslimin, maka negara telah melakukan teror, teror kepada umat islam”, pungkasnya. (asg/Kru FAI)