Ulama Se-Madura yang tergabung dalam Badan Silaturrahim Pesantren Madura (Bassara) yang dipimpin oleh KH Moh. Tidjani Djauhari Rabu (15/3) bertemu anggota Pansus RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) di Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, dan mendukung segera disahkannya RUU APP sebagai benteng moral bangsa, karena kalau moral rusak maka Indonesia akan hancur.
Ulama Bassra dan Forum Musyawarah Ulama yang menandatangani dukungan disahkannya RUU APP menjadi UU tersebut sekitar 100 ulama dari Bangkalan, Sampang, Sumenep, dan Pamekasan.
Mereka diterima Wakil Ketua Pansus RUU APP H. Syariansah, KH Ahmad Toyfur, H. Hafidz Ma’shum, H. Sulaiman Fadhli, KH Makmur Noor, H. Lukman Hakim Saifuddin, dan Lukman Hakim.
“Masalah sanksi dalam RUU APP tersebut belum dihapus, melainkan terus direvisi dan terkait pelanggaran asusila itu akan diserahkan ke aparat hukum dan sudah diatur dalam KUHP, karena tidak mungkin sebuah UU tanpa ada sanksi,” tegas Syafriansah.
Semua fraksi di DPR, lanjutnya,seperti PPP, PKB, PAN, PKS, PBR, PBD, Golkar, Demokrat masih tetap konsisten mendukung RUU APP. Ia menambahkan, hanya perorangan dari PDIP dan PDS yang menolak. Tapi itu belum secara resmi fraksi.
Soal revisi beberapa pasal dalam RUU APP terkait demo penolakan aKHr-aKHr ini menurut KH Ahmad Toyfur semuanya sedang dalam proses. Tekanan penolakan itu memang kuat dan sebaliknya dukungan terhadap APP juga sangat kuat. Karena itu DPR RI Insya Allah tepat waktu akan mengesahkan RUU APP itu menjadi UU pada Juli 2006 mendatang. Untuk mematangkan revisi tersebut Pansus terus kerja keras dalam tiga bulan ke depan.
Menanggapi pertanyaan bukankah UU itu berlaku umum dan tidak ada pengecualian, KH Ahmad Toyfur menjelaskan jika dirinya yang bertugas di Papua ternyata tidak ada satu pun tokoh dan anggota masyarakat termasuk pemerintah daerah serta Ormas Pemuda yang menolak RUU APP tersebut.
“Kalau soal Koteka—pakaian adapt rakyat Wamena di Papua, itu jelas pengecualian dan itu tidak termasuk pornografi. Koteka merupakan bentuk keterbelakangan karena tidak mungkin orang kaya di Wamena pun memakai Koteka,” papar dia.
Menurutnya, penolakan terhadap RUU APP makin menunjukkan jika mereka adalah kelompok pemilik modal (industri seks) yang merasa terancam dengan RUU APP ini. Mengapa? Insutri seks itu modalnya kecil dan pasti untungnya besar dan tanpa spekulasi pasti untung. Dari film dan sinetron porno, pakaian, media cetak dan elektronik porno, hingga bintang-bintang porno dunia yang terancam dengan RUU APP ini di Indonesia.
Jadi RUU ini memang tidak berlaku secara umum bukan untuk privacy dan tempat KHsus yang lain. Seperti di Batam ternyata sudah ada Perda No. 6/2005 yang mengatur tentang bagaimana pakaian yang sopan, katanya.
Soalaapakah perlu badan pengawas RUU APP? Syafriansah menjelaskan,itu tidak perlu karena pelanggaran asusila ini akan diserahkan kepada aparat penegak hukum.
FKB sendiri, menurut anggota Pansus RUU APP DPR Badriyah Fayumi dan Anissah Mahfudz, masih terus melakukan penyerapan aspirasi dan perumusan masalah terkait RUU tersebut. Mereka mengakui ada kesulitan dalam merumuskan pornokasi. Baik menyangkut pakaian yang dipakai maupun tempat beraksi porno itu sendiri itu.
“Semisal di diskotek, bioskop, dan wilayah tertentu lainnya bagaimana? Sementara ini yang jelas jika pornoaksi itu masuk wilayah umum seperti di televise, radio, dan tempat umum maka bisa dikategorikan pelanggaran terhadap pornoaksi,”ujar Anissah Mahfudz.
Menurut Badriyah, kemungkinan DPR RI akan menyepakati RUU pornografinya, sedangkan pornoaksinya ada suara-suara akan ditunda karena masih dibutuhkan perumusan-perumusan lebih lanjut. Tapi PPP kata KH Toyfur, tetap mempertahankan RUU APP dan bukan saja pornografi tapi juga pornoaksinya. Karena keduanya tidak bisa dipisahkan. “Dan, ke delapan fraksi DPR tersebut masih sepakat untuk itu,”ujar KH Toyfur lagi. (dina)