Boleh tidaknya perayaan hari ulang tahun, baik kelahiran maupun perkawinan kini sedang menjadi perdebatan di kalangan ulama di Arab Saudi. Perdebatan dipicu oleh pernyataan ulama Saudi Syaikh Salman al-Oadah dalam sebuah siaran televisi, yang mengatakan bahwa Muslim boleh merayakan ulang tahun kelahiran atau perkawinan.
"Dibolehkan untuk merayakan hari kelahiran seseorang atau merayakan peristiwa-peristiwa yang membahagiakan seperti ulang tahun perkawinan. Dibolehkan pula melemparkan karangan bunga ke arah teman-teman atau kerabat, " kata Syaikh Salman dalam sebuah acara di MBC, salah satu stasiun televisi yang populer di Arab Saudi.
"Ini bukan perayaan hari keagamaan, cuma perayaan biasa dengan teman-teman. Tak ada yang salah dengan itu semua, " sambungnya.
Tidak semua ulama di Saudi setuju dengan pendapat Syaikh al-Oadah. "Dengan segala hormat dengan ijtihad yang dilontarkannya, tapi Syaikh Salman salah dalam hal yang satu ini, " kata Syaikh Abdullah bin Maneia, anggota Otoritas Ulama Senior, salah satu lembaga keagamaan tertinggi di Saudi.
Menurut Maneia, perayaan-perayaan seperti ulang tahun dan sejenisnya berasal dari budaya Barat, bukan dari budaya Islam. "Kita, sebagai Muslim harus punya identitas sendiri yang membedakan kita dari yang lain, " tukas Maneia.
Pernyataan itu diamini oleh Dr Muhammad el-Nujjimi, anggota Akademi Fiqih Islam. Ia mengatakan, perayaan ulang tahun kelahiran atau perkawinan adalah budaya yang asing bagi masyarakat Saudi dan hanya produk yang meniru budaya Barat. "Dr al-Oadah selayaknya tidak mengeluarkan fatwa dalam masalah ini dan harus mengkajinya lebih jauh, " kata al-Nujjimi.
Meski demikian, ada sejumlah ulama yang mendukung pendapat Syaikh al-Oadah, di antaranya mantan rektor Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad, Dr Saud el-Fanissan. Ia menyatakan, perayaan ulang tahun tidak jadi masalah asalkan pelaksanaanya tidak meniru budaya Barat, misalnya dengan menyalakan lilin dan meniupnya.
"Perayaan semacam itu (dengan tiup lilin) tidak bisa diterima karena meniru budaya Barat. Tapi jika perayaannya tidak disertai ritual-ritual semacam itu-tiup lilin dan sejenisnya-boleh-boleh saja, " jelas el-Fanissan.
Ia menambahkan, umat Islam boleh membuat perayaan saat kelulusan sekolah, saat sembuh dari sakit dan perayaan lain yang serupa. El-Fanissan juga menyatakan setuju dengan pendapat al-Oadah untuk tidak menggunakan kata Eid (bahasa Arab yang artinya perayaan) untuk perayaan-perayaan semacam itu. Karena dalam Islam hanya ada dua perayaan, yaitu Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. (ln/iol)