Eramuslim.com – Kepolisian Republik Indonesia terus menuai kritik keras dari berbagai kalangan masyarakat terkait kasus tewasnya Siyono dengan dugaan penganiayaan yang dilakukan oknum Detasemen Khusus (Densus) 88.
Puluhan massa mahasiswa dari Dema Justicia Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu (13/4) sore menggelar aksi simpatik di depan Markas Kepolisian Daerah Provinsi Yogyakarta. “Kasus ini adalah sebuah tindakan terorisme yang berkedok anti-teror! ini pelanggaran HAM!” teriak salah seorang orator.
Yang lain berteriak jika Siyono telah dibunuh teroris sesungguhnya.
Koordinator Aksi, David Ricardo, kepada Aktual.com menjabarkan bahwa, indikasi pelanggaran HAM ini terkuak melalui fakta, dimana mekanisme penangkapan Densus 88 dilakukan secara paksa.
Terlihat pada proses penggeledahan terhadap barang bukti yang dilakukan pada 9 Maret 2016 lalu disebuah TK, hasilnya tetap tidak ditemukan gudang senjata api yang sebelumnya disangkakan pada almarhum Siyono. Penggeledahan tersebut juga ditengarai tidak dilengkapi dengan surat-surat resmi.
“Dugaan pelanggaran HAM tidak hanya terjadi tahun ini, sejak 2000 hingga 2013 ada 83 terduga teroris yang dieksekusi mati secara sepihak oleh densus 88. Menurut Komnas HAM, juga terdapat ribuan terduga lainnya yang ditangkap Densus 88,” paparnya.
Pada dasarnya, pembentukan densus 88 dimaksudkan agar terorisme dapat teratasi, sehingga ancaman keselamatan dan keamanan dapat berkurang. Namun, dalam pelaksanannya indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan densus 88 justru semakin bertambah.
Menurut dia, hal ini terjadi karena belum adanya peraturan yang jelas tentang prosedur penangkapan terduga teroris. Bahkan, indikasi pelanggaran HAM ini tidak hanya terjadi pada saat penanganan (penangkapan), melainkan juga terjadi pada tahap pencegahan.
Densus 88 selama ini telah terpengaruh kampanye anti-terorisme yang dipropagandakan Amerika Serikat, sehingga penanganan terorisme didalam negeri terkesan terburu-buru, tanpa mengedepankan ‘kebenaran materiil’ atas kasus terorisme yang ditangani. Densus menggunakan ‘praduga bersalah’ terhadap setiap orang yang disangka terlibat dalam jaringan terorisme. Tanpa melalui pengadilan, Densus merasa berhak membunuh siapa saja yang dianggapnya teroris. Ratusan warga negara Indonesia yang sudah dibunuh tanpa mellaui pengadilan.
“Kami mendesak pemerintah mengkaji ulang sistem dan cara kerja sistem penumpasan teroris, serta pengawasan yang ketat terhadap seluruh prosedur penanganan terorisme. Kami juga menuntut seluruh pihak yang terkait kasus penganiayaan Siyono untuk bertanggung jawab secara hukum” imbuhnya.(ts/akt)