Hari ini (23 Desember 2008) kita membaca di beberapa media massa pernyataan Direktur Utama PT Pertamina Ari H Soemarno sebagai berikut, ”Kami minta kejelasan status ExxonMobil kepada pemerintah, terutama menyangkut masalah hukumnya, sudah selesai apa belum, karena ada pihak yang mempermasalahkan itu”.
Pernyataan tersebut diungkapkan Ari terkait dengan penundaan yang dilakukan Pertamina dalam menunjuk mitra kerja sama pengelola Blok Natuna D-Alpha. Menurut Ari, selain status hukum yang tidak jelas, pengelolaan Blok Natuna juga terkendala karena syarat-syarat pengelolaan yang belum jelas, seperti porsi bagi hasil dan kewajiban mengenai DMO. Padahal, untuk mengelola Blok Natuna, Pertamina telah mendapat penugasan dari pemerintah melalui surat Menteri ESDM tertanggal 6 Juni dan 27 November 2008.
Penundaan ini menyebabkan Pertamina tidak dapat merealisasikan target mereka untuk merampungkan proses pemilihan mitra kerja sama pada akhir Desember 2008. Penundaan ini juga secara otomatis menyebabkan tertundanya produksi Blok Natuna, yang proses pengembangannya dapat memakan waktu lebih dari 4 tahun. Bahkan, sebagaimana diperkirakan pengamat perminyakan Dr. Kurtubi, kalaupun tahun depan sudah ada keputusan yang jelas tentang pengembangan blok ini, baru pada sekitar tahun 2018 Natuna D-Alpha dapat berproduksi secara komersial.
Sebagai catatan, Blok Natuna D-Alpha merupakan salah satu sumber cadangan gas yang dianggap terbesar di dunia saat ini. Potensinya mencapai 46 triliun kaki kubik atau 1.270 miliar meter kubik gas. Pada kisaran harga gas US$ 13 – US$ 14 per mmbtu, nilai Natuna dapat mencapai US$ 520 miliar atau sekitar Rp 5.460 triliun. Sehingga, pengelolaan Natuna D-Alpha oleh Pertamina sangat bernilai strategis bagi kemajuan BUMN tersebut serta sekaligus dapat memberi sumbangan sangat signifikan bagi keuangan negara.
Ketidaktegasan Sikap Pemerintah = Ketakutan terhadap Exxon?
Bagi kita, tertunda-tundanya kejelasan status hukum Blok Natuna sangat mengherankan dan tidak dapat diterima. Sesuai dengan ketentuan, Blok Natuna seharusnya sudah menjadi wilayah terbuka dan dikembalikan Exxon kepada pemerintah sejak tahun 2005 lalu.
Untuk mengingatkan, Exxon telah memegang kontrak Natuna sejak 8 Januari 1980 (saat masih bernama Esso). Pada tahun 1985, Exxon kemudian memperoleh perpanjangan kontrak selama 20 tahun, hingga Exxon diperkenankan mengelola blok ini hingga 2005. Namun, selama kurun itu, Exxon tak kunjung membuat Natuna berproduksi. Exxon bahkan tidak mengajukan program pengembangan lapangan seperti diwajibkan kontrak (PSC Section II pasal 2.2 B). Karena itu, berdasarkan ketentuan dalam PSC, kontrak Exxon di Natuna dinyatakan sudah berakhir terhitung 9 Januari 2005.
Atas hal ini, Menteri ESDM telah mengeluarkan surat No. 514/BP00000/2006-SO tanggal 8 Desember 2006 yang menetapkan bahwa kontrak pengelolaan Blok Natuna oleh Exxon telah berakhir. Menteri ESDM juga telah menyatakan kontrak Blok Natuna secara hukum telah selesai sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.040/2006. Pada 25 Januari 2007 Menteri ESDM juga sempat menyatakan bahwa lapangan Natuna D-Alpha sudah menjadi wilayah terbuka.
Namun kenyataannya, ketetapan-ketetapan ini tidak diimplementasikan secara konsisten dan konkret di lapangan. Surat terminasi kontrak tidak pernah secara resmi dikeluarkan dan disampaikan oleh pemerintah (Departemen ESDM) kepada Exxon. Bahkan, seperti dinyatakan Dirjen Migas Evita Legowo, hingga kini belum pernah ada surat yang menegaskan posisi Exxon setelah pemerintah menyatakan kontraknya selesai di tahun 2005.
Di sisi lain, Menteri ESDM justru kerap mengeluarkan pernyataan yang berbelit dan tidak konsisten. Seperti antara lain bahwa meski Natuna telah menjadi wilayah terbuka, negosiasi sah-sah saja dilakukan dengan pihak manapun, termasuk dengan Exxon. Menteri juga sempat menyatakan bahwa Exxon selaku operator terdahulu akan diberikan kesempatan pertama untuk bernegosiasi dengan BP Migas.
Akibat ketidakjelasan sikap pemerintah ini, tak heran pihak Exxon terus percaya diri dan merasa kontraknya di Blok Natuna masih berlaku. Exxon berpendapat mereka masih berhak atas Natuna D Alpha karena pada tahun 2004 telah mengajukan perpanjangan kontrak untuk lima tahun berikutnya (sehingga kontrak baru berakhir pada 9 Januari 2009). Exxon bahkan kini juga sedang berancang-ancang memasukkan Plan of Development Natuna kepada pihak pemerintah.
Bagi kita, pernyataan pihak Exxon tersebut sangat janggal. Jika benar perpanjangan kontrak telah diajukan Exxon, maka hal ini jelas telah bertentangan dengan kontrak, karena masalah perpanjangan tidak diatur dalam kontrak. Disamping itu, perpanjangan tersebut juga membutuhkan persetujuan pemerintah. Masalah perpanjangan kontrak juga tidak pernah disinggung oleh Menteri ESDM, sehingga seperti disebutkan di atas, Menteri pada 8 Desember 2006 menyatakan kontrak Exxon di Natuna telah berakhir.
Kita layak memprotes keras sikap Exxon yang tidak menghormati kontrak ini. Sikap ini jelas menunjukkan watak keserakahan dan arogansi Exxon, yaitu sikap khas kaum korporatokrasi yang didukung negara-negara penjajah dan para kompradornya.
Atas hal-hal itu, maka kita mempertanyakan ketegasan dan konsistensi sikap pemerintah dalam menetapkan status hukum pengelolaan Blok Natuna. Mengapa pemerintah membiarkan ketidakjelasan status ini berlarut-larut? Apa yang menyebabkan pemerintah tidak berani dengan tegas memutus kontrak Exxon di Natuna? Apakah pemerintah merasa takut atau sungkan terhadap perusahaan AS tersebut?
Apakah pemerintah justru bermain mata dengan Exxon? Adakah kawan karib Exxon di tubuh pemerintah, yang menghalang-halangi lepasnya Natuna dari Exxon? Atau bahkan, rasa percaya diri Exxon atas Natuna disebabkan adanya jaminan dan dukungan politik dari pejabat tertentu? Bagaimana sikap Presiden sendiri terhadap permasalahan ini? Apakah Presiden justru memberi restu bagi Exxon?
Diingatkan, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro pernah menyatakan, ”Setelah ExxonMobil diberi waktu satu hingga dua tahun, dan negosiasi tidak mencapai titik temu, Presiden minta Pertamina bersiap diri” (Republika, 20 Februari 2008). Hal ini juga telah ditindaklanjuti Pertamina dengan mengundang sejumlah kontraktor migas untuk menjadi partner dalam mengeksploitasi Blok Natuna pada sekitar bulan April 2008.
Kita kini menuntut realisasi pernyataan Menteri ESDM tersebut. Menteri ESDM harus membuktikan dirinya konsisten, tegas menegakkan aturan yang berlaku, dan berpihak pada kepentingan nasional dengan segera menerbitkan surat terminasi kontrak Exxon di Natuna. Serta kemudian, memaksa Exxon mengembalikan ladang migas tersebut kepada pemerintah. Pemerintah juga harus segera menunjuk Pertamina sebagai pengelola Natuna D-Alpha melalui keputusan resmi yang berkekuatan hukum.
Jika hal-hal tidak dilakukan, atau bahkan Menteri ESDM kembali melakukan akrobat pernyataan untuk menghalang-halangi lepasnya Natuna dari Exxon, maka tak berlebihan pula kiranya tudingan sejumlah pihak bahwa Menteri telah bertindak sebagai antek bagi kepentingan asing! Jika demikian, maka sikap dan tindakan tegas harus diambil Presiden, untuk menunjukkan bahwa negara ini masih memiliki martabat, kemandirian, dan harga diri!
Jakarta, 23 Desember 2008
Marwan Batubara
Anggota DPD RI/
Komite Penyelamat Kekayaan Negara