Trotoar Itu Hak Pejalan Kaki, Bukan Yang Lain!

Upaya-upaya untuk mencegah pemotor memakai hak pejalan kaki di trotoar pun telah coba dibuat, seperti dipasangnya tiang-tiang pembatas (bollard) dan pembatas portal S (barrier letter S) yang mempersempit kemungkinan pengendara melintasi trotoar. Namun tetap saja masih ada pemotor yang nakal dan mencari celah untuk melintasi trotoar. Tak jarang kondisi tersebut membuat pejalan kaki bersitegang dengan pengendara motor yang melintasi trotoar. Meski lebih sering, pejalan kaki dibuat pasrah dan terpaksa mengalah berbagi trotoar dengan pengendara motor yang tak tertib tersebut.

Gerakan Koalisi Pejalan Kaki (KoPK) pun dibentuk pada 2012 untuk mensosialisasikan dan menyuarakan hak-hak pejalan kaki dengan lebih lantang sebagai bagian dari kontrol sosial. Salah satu aksi dari gerakan yang telah menyebar di 10 daerah Indonesia ini ialah Tamasya Trotoar, yang mana para relawannya akan melakukan kampanye terhadap pengendara bermotor yang mengokupasi trotoar dengan memegang poster-poster berisikan peringatan fungsi trotoar sebagai fasilitas pejalan kaki dan mengarahkan pemotor untuk kembali ke jalur semestinya.

Selain menciptakan ketidaktertiban di ruang publik yang membahayakan pejalan kaki, pengendara kendaraan bermotor yang mengokupasi trotoar jelas merupakan tindakan melanggar hukum. Di mana hak pejalan kaki dan kewajiban pengemudi kendaraan bermotor untuk mengutamakan keselamatan pejalan kaki sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) serta Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2006 tentang Jalan. Mengacu pada Pasal 106 ayat 2 UU LLAJ, pengendara motor yang melintasi trotoar dan berpotensi mengganggu keselamatan pejalan kaki dapat dikenakan pidana dengan hukuman kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu.

Sementara Pasal 275 UU LLAJ menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, fasilitas pejalan kaki, dan alat pengaman pengguna jalan dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu bulan kurungan atau denda paling banyak Rp 250 ribu.

Adapun secara lebih terperinci, hak pejalan kaki diatur pada Pasal 131 UU LLAJ yang menyebut; 1). Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung berupa trotoar, tempat penyeberangan dan fasilitas lain, 2). Pejalan kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan, 3). Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud diatas, Pejalan kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan dirinya.

Sementara, kewajiban pejalan kaki diatur pada Pasal 132 UU LLAJ, yaitu; 1). Menggunakan bagian jalan yang diperuntukkan bagi Pejalan kaki atau jalan yang paling tepi, atau menyeberang di tempat yang telah ditentukan, 2). Pejalan kaki wajib memperhatikan keselamatan dan kelancaran lalu lintas, 3). Pejalan kaki penyandang cacat harus menggunakan tanda khusus yang jelas dan mudah dikenali Pengguna jalan lain.[sumber]