Eramuslim.com – “Keluarga yang tewas, harus memperoleh Retroactive insurance. Dari pihak-pihak bertanggung jawab terkait. Mereka tewas jelas-jelas karena manajemen transportasi yang kacau, bukan karena kecelakaaan. Mereka tewas akibat manajemen contigency yang tak jalan,” ujar Djoko Edhi S Abdurrahman, Rabu (6/7), mengomentari jatuhnya korban jiwa dalam macet mudik di Brebes Exit pada Lebaran tahun ini.
Lebih lanjut advokat ini menguraikan:
Guard dari udara tak ada. Pusat pelaporan darurat tidak ada. Kemana heli Kepolisian, Badan Penanggulangan Bencana, TNI? Ini juga jelas-jelas tersedia tapi tak ada komando dari Presiden. Pada saat peristiwa, Presiden selaku manajer tertinggi malah sibuk bagi-bagi buku dan sembako. Jadi jelas lini komando tak jalan.
Ini sudah kesekian kalinya Presiden abai terhadap protokoler Kepala Pemerintahan. Tak ada perintah pada saat momentum krisis, adalah kesalahan fatal. Presiden senang-senang sendiri dan tidak melaksanakan wewenang dan tugasnya.
Semua tahu, momentum yang bersifat massa adalah event beresiko tinggi yang melibatkan banyak orang. Mengapa presiden malah bersenang senang sendiri?
Selaku Kepala Pemerintahan, Presiden membawahi manajemen TNI dan Polri. Tugas pokok TNI cuma dua: melindungi rakyat dari bencana perang, dan bencana alam, termasuk situasi darurat yang mengancam keselamatan rakyat.
Tugas pokok Kepolisian adalah melindungi rakyat dari kejahatan dan ancaman ketertiban termasuk penyelamatan situasi krisis. Kedua tugas pokok tersebut di bawah Presiden lengkap dengan protokol pemerintahan.
Untuk itu, Presiden diberikan hak fries ermesson (kebebsan melawan hukum demi kepentingan publik). Jika hak ini tidak dijalankan, Presiden salah berat, diancam sebagai penyalahgunaan wewenang (detournament of pavoir).
Karena sudah terdapat korban, Presiden diancam sebagai penyalahgunaan kekuasaan (excess du pavoir), otomatis Presiden melakukan perbuatan melawan hukum dan pidana (tort).
Point-point itu menjadi alasan pengajuan hak interpelasi diikuti dengan hak angket untuk membuktikan bahwa Presiden bersalah, dan selanjutnya menjadi dasar pemakzulan.
Hak angket selanjutnya menggunakan UU nomor 6 tahun 1954 tentang Hak Angket DPR, di mana pansus secara mandiri dapat melakukan lidik sidik, baik sendiri maupun menggunakan kekuasaan Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman.
Proses ini penting, yang jika gagal memakzulkan Presiden dapat menjadi pelajaran agar Presiden tidak lagi melanggar UU, protokoler, dan berhenti pasang citra dengan mengabaikan tugas pokoknya. Tak bisa. Nawacita adalah bukan UU, bukan protokoler, bukan tugas pokok.
Pelanggaran UU, protokoler, dan tugas pokok, diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk memperoleh kepastian hukum. Baru dari MK diajukan ke MPR. Jokowi sudah pantes dimakzulkan akibat Brexit (brebes exit): berak, kencing, buang sampah di tol, 12 tewas.
Demikian disampaikan mantan anggota Komisi III DPR RI ini seperti dilansir TeropongSenayan.(ts/pp)