Dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2019, yang salinannya diperoleh detikX, ongkos pemeliharaan pesawat kepresidenan menjadi salah satu dalih Kemensetneg untuk meminta tambahan anggaran. Dokumen itu menyebut belanja modal Kemensetneg pada 2018-2019 meningkat sekitar 1,8 persen dari sebelumnya Rp 1,61 triliun menjadi Rp 1,64 triliun. Dua di antara tiga alasannya adalah untuk tambahan belanja pemeliharaan pesawat kepresidenan dan pengadaan mesin bagi BBJ-2.
Dari dokumen itu pula diketahui bahwa biaya avtur yang dikeluarkan pemerintah untuk pesawat kepresidenan berkisar Rp 1,8 miliar pada 2018. Selain itu, diketahui, hingga 2020, pemerintah masih memiliki utang untuk biaya pemeliharaan helikopter Super Puma AS-332 L2 senilai Rp 20,4 miliar. Lalu utang biaya pengoperasian dan perawatan pesawat BAE RJ-85 untuk Wakil Presiden Ma’ruf Amin senilai Rp 11,25 miliar.
Sebagaimana diketahui, saat ini Indonesia memiliki setidaknya empat kendaraan terbang yang kerap digunakan untuk keperluan khusus presiden dan wakilnya. Satu pesawat jenis Boeing Business Jet 2 digunakan Jokowi. Satu pesawat lain berjenis British Aerospace RJ-85 digunakan Ma’ruf Amin. Dua lainnya merupakan helikopter bertipe AS-332 Super Puma L2 untuk keperluan pengamanan presiden dan wakilnya.
Tidak diketahui secara pasti berapa total biaya yang dibutuhkan untuk perawatan dan pengoperasian empat kendaraan terbang tersebut. Namun, berdasarkan pemberitaan pada 2018, nilai kontrak GMF dengan pemerintah untuk biaya pemeliharaan BBJ-2 mencapai Rp 20 miliar. Penandatanganan kontrak dilakukan sejak 2014 dan terus diperpanjang setiap tahun. Mantan Kepala Biro Umum Kemensetneg Piping Supriatna menyebut kisaran biaya yang sama juga dianggarkan pemerintah untuk pesawat BAE RJ-85. Khusus BAE RJ-85, perawatannya diserahkan kepada PT Pelita Air.
“Untuk nilai tergantung pada berapa kerusakan dan kegiatannya seberapa jauh, yang memang sesuai dengan hal-hal tersebut, yang menentukan besaran anggarannya dari tahun ke tahun,” tutur Piping Supriatna pada Selasa, 6 Februari 2018 sebagaimana dinukil dari CNNIndonesia.com.
Sebetulnya, mahalnya biaya perawatan pesawat kepresidenan ini sudah diperingatkan oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) pada 2011. Waktu itu, Fitra memberikan gambaran terkait pemborosan yang bakal terjadi jika pemerintah membeli pesawat kepresidenan sendiri dengan asumsi penggunaan lima tahun pada periode 2005-2009. Datanya diambil Fitra dari tanggapan Menteri Sekretaris Negara pada saat rapat kerja dengan DPR Komisi II pada 31 Mei 2010. Berdasarkan data itu, biaya memiliki pesawat kepresidenan disebut bakal memakan biaya USD 42,17 juta lebih banyak dibandingkan menyewa.
Fitra memerinci, jika membeli pesawat, ongkos yang dikeluarkan pemerintah untuk pesawat kepresidenan dalam lima tahun berkisar USD 131,63 juta. Detailnya, pembelian pesawat USD 85,4 juta, kegiatan operasional dan perawatan USD 36,53 juta, lalu depresiasi aset USD 9,76 juta. Sementara itu, jika menggunakan pesawat carter, dana yang dibutuhkan pemerintah selama lima tahun hanya senilai USD 89,52 juta. Ongkos yang dikeluarkan hanya untuk sewa selama lima tahun sebesar USD 81,38 juta dan perkiraan penambahan harga sewa senilai USD 8,14 juta.
Dalam catatan itu pula, Fitra menyebut, jika pemerintah membeli pesawat, lima tahun ke depan setelah pesawat dibeli, Indonesia masih akan memiliki aset senilai USD 75,64 juta. Nilai aset itu memang bakal memberikan surplus sekitar USD 33,46 juta setelah dikurangi dengan pemborosan anggaran yang USD 42,1 juta. Namun surplus anggaran yang diambil dari nilai aset itu, disebut Fitra, sebagai sesat logika. Pasalnya, dengan memiliki pesawat, negara akan terus dikenai biaya perawatan kendati pesawat tidak digunakan. Nilai perawatannya boleh jadi akan terus membengkak setiap tahunnya mengingat usia pesawat yang semakin tua.
Sedangkan jika menyewa pesawat, negara tidak akan dikenai biaya perawatan. Indonesia bisa jauh lebih berhemat jika presiden mengurangi jumlah kunjungan kerjanya. Sebab, mahal atau tidaknya sewa pesawat akan sangat tergantung dengan seberapa banyak presiden melakukan kunjungan kerja. Semakin sedikit frekuensi terbang presiden, semakin murah biaya sewanya.
“Selain itu, pembelian pesawat yang berasal dari utang akan menjadi beban rakyat Indonesia, yang harus membayar pokok utang dan bunga utang. Sementara dengan sewa pesawat, rakyat Indonesia tidak dibebani oleh utang ataupun biaya perawatan pesawat ini,” begitu catatan Fitra dalam kajiannya pada 2011.