Tim Advokasi Korban Lumpur Lapindo, Yudi Latif, menilai Perpres 14/2007 tentang pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) lebih melindungi PT. Lapindo Brantas milik keluarga Menkokesra Aburizal Bakrie.
“Itu kan jelas merupakan kejahatan korporasi, tapi mengapa negara yang dirugikan. Seperti halnya kasus bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), " ujar Yudi saat diterima Fraksi Partai Amanat Nasional(F-PAN), di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/4).
Oleh karena itu, pihaknya meminta F- PAN untuk membongkar skenario PT. Lapindo yang tertutup selama ini. Menurut Yudi, PT. Lapindo sebenarnya bisa ditutup, sebagai sanksi karena PT. Lapindo Brantas ceroboh dan tidak bertanggungjawab. Tapi penutupan itu tidak pernah dilakukan.
Ray Rangkuti, yang juga anggota tim advokasi, berpendapat semburan lumpur Lapindo bukan saja menjadi bencana bagi warga Sidoarjo, tapi juga menjadi masalah nasional.
Karena itu, katanya, langkah yang dilakukan DPR bukan saja terbatas pada interpelasi, melainkan meminta pertanggungjawaban PT. Lapindo Brantas dan jangan sampai pemeirntah dan negara yang harus membayar utang-utang PT. Lapindo.
Menanngapi hal itu, anggota F-PAN Joko Susilo menyatakan bahwa hak interpelasi untuk kasus ini sulit terwujud karena membutuhkan proses panjang.
“FPAN mendukung, tapi akan menghadapi kesulitan. Juga akan memunculkan tarik menarik kepentingan politik yang besar sehingga substansinya hanya pada persoalan politik, ” kata dia.
Menurutnya, langkah yang paling tepat adalah adalah konsentrasi untuk melobi panitia anggaran DPR agar menyetujui pemberian ganti rugi cash and carry dari dana APBN.
Ditanya bukankah dengan demikian PT. Lapindo lepas tanggungjawab? “Ya, jelas tidak. APBN itu hanya untuk menyelesaikan persoalan korban yang terus menderita dengan secepatnya. Sedangkan PT. Lapindo tetap harus membayar utang-utang itu kepada pemeirntah atau negara. Jadi, yang terpenting warga yang jadi korban harus segara diselamatkan dengan dana talangan pemerintah melalui APBN dimaksud, ” imbuhnya. (dina)