Jakarta,“Tak ada lagi pertentangan antara Islam dan Nasionalis”, kata Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla, dalam acara buka puasa bersama dan bincang santai tentang Islam dan Politik Indonesia yang digelar Republika, di Jakarta, Selasa (23/9/2008).
Selain Wapres Jusuf Kalla, dalam acara diskusi di Rumah Maroko itu, tampil sebagai pembicara Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP, Taufiq Kemas, tokoh PKS yang menjadi Ketua MPR, Hidayat Nurwahid, Pemred Republika, Ikhwanul Kiram, Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto, Ketua Majelis Syuro PBB, Yusril Ihza Mahendra.
Selain tokoh-tokoh partai diatas, ikut hadhir antara lain, Ketua DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, Hakim MK, Jimly Asshidiqie, Wakil Ketua DPD, Irman Gusman,Wakil Sekjen PPP, Taufiqulhadi, Ketua Dekopin, Adi Sasono, pengamat politik, Fachry Ali, Hamid Basyaib, Moh.Qodari, ekonom Sunarsip, Direktur BMI, U.Saefuddin Noer, Komisaris Abdi Bangsa, Abdulgani, dan Dirut Aora TV, Ongki P.Soemarsono.
Lebih lanjut, Jusuf Kalla menegskan, nuansa pragmatis itu, sekarang nampak lebih kental, ujarnya. Kemudian, Kalla mencontohlkan, koalisi yang dibangun PKS di sejumlah Pilkada. Sebagai partai yang berazaskan Islam, PKS melakukan koalisi dengan PDIP di Pilkada Sumatera Selatan, dan di Sulawesi Selatan, PKS berkoalisi dengan Partai Golkar, tambahnya. Karena itu, kata Kalla, tidak ada rumusan yang sifatnya baku dalam menjalin koalisi. Sebab, tujuan koalisi antarpartai tak hanya sekadar kesamaan program, visi dan misi, tapi juga untuk mengisi kekurangan kemampuan maupun perolehan suara,sehingga peluang mencapai kemenangan semakin besar, tambahnya.
Dibagian lain, bila ditilik dari sejarah, kata Taufiq Kiemas, partai-partai nasionalis pun tak bisa dipisahkan dari umat Islam. Kalau sekarang PDIP punyai Baitul Muslimin, Taufiq, menyatakan, dahulu PNI juga memiliki Jamiatul Muslimin. “Seorang Pancasilais dijamin tidak akan menjadi sekuler”, katanya. Partainya (PDIP) sejak awal selalu menawarkan koalisi. Sekalipun PDIP mampu mengusung capres atau cawapres tanpa koalisi, PDIP tidak akan bisa membangun bangsa sendirian. Berhubung tidak ada lagi sekat-sekat pemisah antar parpol, ylang diperlukan saat ini hanyalah keberanian untuk memutuskan siapa teman koalisinya. “Tinggal kita bicaranya (koalisi) sekarang atau setelah pemilu legislatif”, tegas Taufiq.
Bersamaan dengan itu, Hidayat Nurwahid, menambahkan, sesuai UU, semua parpol memperoleh perlakuan sama. Tak ada pembedaan berdasarkan ideologi partai, baik untuk parpol Islam maupun nasionalis. “Sekarang bukan waktunya lagi mempertentangkan partai berdasarkan azas Pancasila atau Islam”, ujar Hidayat. Platform parpol, sebenarnya banyak yang bersinggungan. Hanya ada penekanan tertentu, misalnya, dibidang ekonomi, umat, dan lainnya. “Tidak lagi dikotomi antara yang membahayakan dan tidak membahayakan NKRI”, tambah Hidayat.
Semakin cairnya hubungan antara Islam dan Nasionalis ini, dinilai Muhaimin Iskandar, merupakan bentuk kedewasaan politik. Setelah melalui perjalanan sejarah panjang, sejak zaman para wali, ajaran Islam kini telah beradabtasidengan kekayaan budaya lokal. “Sekaranglah masa pematangan hubungan Islam dengan Nasionalis”, tegas Muhaimin. (Dikutip dari Republika, 24/9/2008). Red.