The Rogue State: Pajak Barang Mewah Dihapus, Warteg dan UKM Malah Akan Kena Pajak

JOkowi11Eramuslim.com – Ironis, terus menurunnya penerimaan pajak di kuartal pertama tahun 2015 lalu, kini pemerintah melalui Menteri Keuangan Bambang Brodojonegoro membebaskan pajak barang mewah. Dengan ditekennya revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 130/PMK.011/2013, tentang jenis barang kena pajak yang tergolong mewah, atau Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), beberapa jenis barang mewah bebas masuk tanpa harus kena pajak.

Bambang mengatakan, kebijakan baru ini dilatarbelakangi pertimbangan diantaranya untuk menjaga daya beli masyarakat, serta mendorong tumbuhnya industri dalam negeri atas produk-produk yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Menkeu optimistis banyak masyarakat Indonesia yang akan membeli barang tersebut karena harganya lebih murah. Sehingga dampaknya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang tengah melambat. Pada triwulan I-2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,7%.

Branded goods misalnya, tas ini kita bebaskan dari PPnBM. (karena) Ngawasin-nya susah sekali, karena gampang sekali masuk melalui bandara. Mereka berbelanja dari luar negeri bilangnya untuk sendiri, tapi sampai di sini mereka jual. Perginya menggunakan frekuensi penerbangan yang sering. Karena pengawasannya terlalu rumit, biayanya terlalu tinggi, makanya kita hapuskan,” kata Bambang dalam konferensi pers di Kantor Ditjen Pajak, Kemenkeu, Jakarta.

Bambang menambahkan, barang yang akan dibebaskan PPnBM itu adalah kebutuhan masyarakat umum. Seperti TV, kulkas, AC, karpet, mebel, ubin, porselen, karpet, mesin cuci, kamera dan yang lainnya, yang selama ini kena PPnBM. Misalnya tas mewah seperti louis vuitton yang kena PPnBM 40%.

Kebijakan pemerintah melalui menteri keuangan dirasa sangat kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah DKI Jakarta yang akan mengaktifkan kembali pajak terhadap pengelola warung tegal (warteg). Kepala Suku Dinas (Sudin) Pajak Jakarta Pusat II Arif Susilo mengatakan, Berdasar kajian instansinya, tidak semua warteg dikelola masyarakat kecil. Usaha tersebut sudah menggurita. Pemasukan per harinya jutaan rupiah. Bahkan, seorang pengusaha bisa memiliki puluhan warung. “Jadi, (pajak warteg) harus dievaluasi, baik regulasinya maupun tarifnya,” ujarnya belum lama ini.

Sesuai dengan perda pajak restoran, tarif pajak warteg sama dengan pajak restoran, kantin, dan warung. Dinas pajak memiliki rencana khusus untuk warteg. Yakni, hanya dikenakan pada warteg yang beromzet Rp 200 juta per tahun, atau rata-rata pendapatan bersih Rp 550 ribu per hari. “Kalau aturannya sebesar itu, kami yakin di ibu kota banyak yang melampauinya,” terang dia. Arif yakin penolakan pajak warteg akan mereda. Sebab, pihaknya kini mengklasifikasikan pendapatan warteg.

Bukan hanya itu, kebijakan Menkeu Bambang juga bertolakbelakang dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menyebutkan, Usaha Kecil Menengah (UKM) dengan tempat usaha tetap dan beromzet hingga Rp 4,8 miliar per tahun akan dikenakan pajak 1% ini. Sementara itu untuk usaha franchise (warlaba) kena ketentuan umum, online juga kena pasal 17. Yaitu yang berpenghasilan Rp 50 juta kena pajak 5%, Rp 50-250 juta sebesar 15%, Rp 250-500 juta sebesar 25%, dan di atas Rp 500 juta kena 30%. Tapi untuk usaha franchise dan penjual online dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar, dikenakan pajak 1%.(rz)