“Kebijakan ini mengulang proyek Administrasi Pertanahan pada tahun 1990-an yang menjadikan tanah sebagai komoditas. Tanah diperjualbelikan, jadi alat mengakses kredit bank. Dalam prakteknya, PTSL justru melegitimasi penjarahan kembali tanah-tanah yang sudah direklaim/digarap kembali oleh petani sebagaimana terjadi di Pandanwangi, Lumajang, Jawa Timur,” tambah rilis itu.
Selain itu, sertifikasi lahan di atas tanah-tanah bebas konflik adalah pekerjaan administrasi rutin Kementerian ATR/BPN, sama sekali bukan Reforma Agraria. Reforma Agraria sejati menghendaki tanah negara diberikan kepada rakyat, bukan tanah rakyat yang disertifikatkan. YLBHI juga menyoroti sertifikasi tanah-tanah adat yang tidak lain adalah bentuk individualisasi tanah-tanah komunal yang mengancam keberadaan masyarakat adat.
“Hari Tani seharusnya dirayakan petani dengan suka cita. Ketika pemerintah sibuk berkoar-koar tentang capaian sertifikasi tanah dan Perhutanan Sosial, ratusan petani dan masyarakat adat masih mendekam di penjara,” sebut YLBHI.
YLBHI- LBH mengklaim telah mendampingi tidak kurang dari 70 orang petani termasuk di dalamnya masyarakat adat yang dikriminalisasi di berbagai wilayah di Indonesia sepanjang tahun 2017 hingga sekarang, tersebar di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Sulawesi Selatan.
“Dua kasus di antaranya adalah kriminalisasi Pak Aziz dan Pak Rusmin, petani Desa Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal. Kedua petani ini divonis hakim 8 tahun penjara dan denda 10 milyar. Perhutani melaporkannya ke polisi karena kedua petani ini bersama 400 warga desa yang lain menolak meninggalkan lahan garapan yang telah ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan negara pada tahun 2014. Sebelum menjadi lahan hutan, lahan tersebut adalah perkebunan terlantar berstatus HGU PT,” sebut YLBHI.