Resah dengan pemberitaan media lokal yang sering tidak mengindahkan kode etik jurnalistik, sejumlah mahasiswa di Aceh menggagas Gerakan Syariatkan Media.
Mereka berharap gerakan ini bisa menyadarkan media akan pentingnya pembelajaran publik dalam pemberitaan, bukan hanya mementingkan bisnisnya semata.
Gerakan ini lahir tak terlepas dari keresahan mereka terhadap pemberitaan sebuah media lokal tentang penangkapan remaja putri berinisial PE (16) oleh polisi syariah (Wilayatul Hisbah) di Kota Langsa beberapa waktu lalu.
Dalam pemberitaannya, koran itu menyebut PE sebagai pelacur. Belakangan PE ditemukan tergantung tak bernyawa di rumahnya di Aramiah, Kecamatan Bireum Bayuen, Aceh Timur dan meninggalkan sepucuk surat berisi permintaan maaf dan klarifikasi kepada ayahnya, bahwa dia bukanlah pelacur.
(Pemberitaan media lokal terkait kasus PE ini kemudian dijadikan Majalah Tempo sebagai sarana untuk menghantam syariat Islam yang ditegakkan di wilayah Aceh. Salah satu kesimpulan dalam artikel di majalah Tempo edisi September 2012 lalu mengatakan: “Kematian Putri menjadi kian tak biasa karena berkaitan dengan penerapan hukum syariah di Bumi Serambi Mekah.” baca: Majalah Tempo Menyakiti Umat Islam)
“Kematian PE menjadi bahan pembicaraan hangat di kantin kampus, kemudian kami ikuti diskusi salah satu LSM sepulang dari situ kami bangun gerakan Syariatkan Media,” kata Muda Bentara, mahasiswa Komunikasi FISIP Universitas Syiah Kuala yang juga penggagas gerakan tersebut dalam diskusi di Taman Putroe Phang, Banda Aceh, Sabtu (13/10/2012) sore.
Dalam menjalankan misinya, mahasiswa ini sering mengadakan diskusi membicarakan pemberitaan media dengan melihat sisi-sisi etika dan kepentingan publik. Mereka menjadikan media khususnya lokal sebagai bahan referensi diskusi, seperti dilansir Okezone.com, Ahad 14 Oktober.
Para mahasiswa berharap media di Aceh tidak mencari keuntungan lewat pemberitaan yang vulgar, berbau seks, darah dan mistik. Selama ini sebuah koran lokal dinilai sering melabrak etika khususnya dalam memberitakan terkait penangkapan pelanggar Qanun syariat Islam.
Menurutnya, media harus memberikan pendidikan untuk masyarakat khusus masyarakat kelas bawah, yang menjadi pangsa pasar koran ‘kuning’ tersebut.
“Selama ini kode etik jurnalistik sering dikangkangi,” tambah Reza Fahlevi, salah seorang peserta diskusi.
Jabal Ali Husin Sab, mahasiswa lainnya dalam pertemuan itu menyatakan, media berhaluan kriminal dengan membudayakan penyajian berita dengan bahasa vulgar dapat merusak mental masyarakat selain degradasi moral.
“Media berbahasa vulgar bagaimana caranya tidak dicampak di meja makan sehingga dibaca anak-anak berdampak terjadi degradasi moral,” jelasnya.(fq)