Terkait Kasus Freeport, Ginandjar Kartasasmita akan Dipanggil Panja Komisi VII

Ribut soal Freeport rupanya juga mengarah ke Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Panja Komisi VII DPR RI yang diketuai oleh Agusman Effendy akan segera memanggil Ketua DPD RI Ginandjar Kartasasmita untuk dimintai keterangan.

Panja Freeport DPR itu kini sedang menyiapkan berbagai bahan kontrak PT. Freeport dengan Indonesia sejak era pemerintahan Soeharto. Keterangan Ginandnjar Kartasasmita diperlukan karena Ketua DPD itu mengetahui proses kontrak yang dilakukan oleh pemerintah dengan PT. Freeport.

“Waktu itu Ginandjar sebagai Mentamben (Menteri Pertambangan dan Energi, kini berubah menjadi Menteri ESDM RI), sehingga keterangan beliau diperlukan untuk mengetahui sejauh mana kontrak PT. Freeport dengan pemerintah itu dilakukan,” ujar anggota Panja Freeport Komisi VII DPR RI FPAN, M. Nadjib kepada wartawan di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Selasa (28/2).

Pengamat ekonomi Dradjad Wibowo menambahkan, kontrak dengan Freeport tersebut bisa dibatalkan jika terbukti ada unsur KKN yang merugikan Negara. Namun untuk mengetahui itu Panja Freepot DPR harus melakukan kerjasama dengan otoritas keuangan dan pasar modal yang ada di Ameriksa Serikat (AS) untuk mengecek aliran dana karena tidak diketahui berapa jumlah deposit yang diambil oleh PT. Freeport dalam kontrak selama ini.

Oleh karena itu, katanya, pemerintah juga harus bersedia membuktikan bahwa kontrak dengan PT. Freeport tahun 1991-an yang kemudian diperpanjang lagi, mengandung unsur KKN.

“Atau dalam bentuk apa pun juga selama kontrak itu mengandung unsur-unsur illegal di Negara mana pun maka bisa dibatalkan. Jadi, bisa dibatalkan apalagi masih ditangani oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro,” papar Dradjad.

Menurutnya, Purnomo Yusgiantoro mempunyai banyak kesempatan melakukan langkah-langkah koreksi untuk memperbaiki lingkungan dan bagi hasil dalam beberapa kontrak Indonesia dengan PT. Freeport, meski secara hukum sangat sulit dilakukan. Tekanan masyarakat Papua (MPR dan DPRD) bisa dijadikan alasan untuk menutup PT. Freeport sehingga tekanan itu hanya bersifat politis. Bukan hukum.

“Jadi, masyarakat Indonesia yang menghendaki ditutup atau dibatalkannya kontrak PT. Freeport dengan pemerintah, harus terus melakukannya secara politis. Bukan secara hukum, karena secara hukum, ini butuh proses panjang dan bukti-bukti akurat terhadap pelanggaran maupun adanya KKN yang dilakukan oleh kedua pihak,” sambung politisi asal PAN itu. (dina)