Jenderal Soedirman wafat di usia yang sangat muda. 1950. Setelah Belanda mengakui eksistensi Indonesia. Beliau wafat di usia 34 tahun. Tapi jasa2nya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak terbilang. Anak muda yang rajin mengikuti pengajian itu –para sesepuh kampung Kauman Yogyakarta menyaksikannya, wafat dengan diantar ribuan warga. Ada banyak catatan yang menunjukkan, betapa kader Muhammadiyah yg satu ini, rajin mengutip Al Qur’an ketika menggelorakan semangat perlawanan pasukannya. Bagi ‘Pak Guru’ Soedirman: “Hidup mulia atau mati syahid”. Berdiri di depan dia, memimpin perlawanan, meneriakkan takbir ke udara.
Kenanglah kejadian ini, Kawan: Tahun 1946, ‘Pak Guru’ Soedirman mengunjungi laskar Hisbullah-Sabilillah Surakarta yang sedang mempersiapkan kembali maju ke medan perang. Saat diadakan pertemuan di Surakarta, Pak Guru Sudirman mengawali kata sambutannya dengan melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, Ash-Shaf ayat 10-12 yang kemudian diterjemahkannya sendiri, ‘Hai orang-orang yang beriman, maukah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang akan menyelamatkanmu dari siksa yang pedih. Yaitu, kamu yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu… dstnya…”
Sekali lagi, inilah bukti tak terbantahkan bahwa teriakan takbir, ajaran agama Islam, tidak dipenuhi kebencian. Itu bukan teriakan teroris. Kalimat tauhid bukan ajaran penjahat. Bacalah sejarah bangsa ini, kita akan mengetahui, itu adalah pengobar semangat tiada tara melawan penjajahan. Jangan sampai, kita malah risih, ilfil, kesal, aneh, terasing saat takbir diteriakkan. Apalagi sampai menjadikan takbir “Allahuakbar” sebagai bahan lelucon, stand up comedy, diolok2. Karena kalimat itulah yang diteriakkan oleh sebagian besar (mayoritas) para pejuang kemerdekaan dulu. Tanpa mereka, boleh jadi kita tidak akan menikmati semua kemudahan, kenyamanan hari ini.
Belajarlah sejarah.
Tere Liye