Forum Komunikasi Tenaga Lapangan Dikmas (FKTLD) meminta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mendesak pemerintah memperhatikan nasib tenaga lapangan pendidikan masyarakat (dikmas) dalam formasi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun 2006.
Secara nasional TLD tidak mempunyai posisi nomenklatur dalam tes CPNSD sebagaimana pengangkatan tenaga honorer guru bantu menjadi PNS.
“Padahal, bila ditilik sejarah keberadaan TLD lebih duluan lahir dan lebih lama berjuang dibanding guru bantu. TLD lahir sebagai ujung tombak pendidikan nonformal di masyarakat yang manfaat keberadaannya sangat dirasakan pemerintah dan masyarakat sendiri,” kata Ketua Umum FKTLD Sumedi ketika beraudiensi dengan Panitia Ad Hoc III DPD.
Sumedi yang didampingi Bendahara Umum Rahdiyati dan perwakilan jajaran FKTLD dari berbagai daerah, diterima Ketua PAH III Muhammad Surya bersama Wakil Ketua Faisal Mahmud dan Nuzran Joher, serta sejumlah anggota PAH III di ruang GBHN Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Selasa (30/5).
Berdasarkan catatan Direktorat Pendidikan Masyarakat, FKTLD menyatakan, TLD telah lahir pada tahun 1985 yang di tempatkan di setiap desa dalam satu kecamatan.
Menurutnya, kedudukan guru bantu dan TLD sama-sama sebagai tenaga honorer yang membantu pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa tetapi TLD tidak diakui dalam nomenklatur tes CPNS.
“Berdasarkan fakta tersebut, kenyataan yang terjadi sungguh terbalik. Guru bantu yang lahir baru seumur jagung dengan lapangan tugas yang sempit, sudah mendapat prioritas serta legalitas, dan tanpa kesulitan berarti mengikuti tes CPNS,” kata Sumedi.
FKTLD menyoroti Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 mengenai pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil. Menurut Sumedi, ketentuan usia dan masa kerja dalam PP tersebut sungguh merugikan TLD. “Kami merasakan ketimpangan, sehingga kesempatan TLD yang berjuang lama atau hampir punah usia untuk menikmati PNS sangat kecil sekali, bahkan nyaris tertutup,” ujarnya.
Berdasarkan permasalahan tersebut, FKTLD mengharapkan DPD mendesak Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Pendidikan Nasional meninjau kembali PP tersebut dan mengupayakan semua TLD diangkat menjadi PNS. “Bukan karena prioritas tetapi karena sudah seharusnya diangkat menajdi PNS. TLD sudah melalui uji tes dan mengabdi bertahun-tahun,” harapnya.
FKTLD juga mengungkapkan kendala pengangkatan TLD menjadi PNS di daerah-daerah dari segi administrasi maupun prosedur, seperti pemerintah daerah yang tidak atau belum mengakui TLD bahkan tidak menerima keberadaan TLD sebagai tenaga honorer. Karena itu, mereka mengharapkan Men PAN mengeluarkan ‘surat sakti’ mengenai keberadaan TLD kepada jajaran pemerintah daerah.
“Saya ikut CPNS hanya dua kali selama 13 tahun karena formasi TLD untuk tiap kabupaten/kota tidak sama. Padahal kami sudah susah payah membentuk ‘barang rongsokan’ menjadi ‘barang berharga’,” kata Wirya (dari Indramayu) memberi tamsil.
“Di Kabupaten Lombok Tengah kami tidak mau dikenal pemda. Surat Mendiknas dan Dirjen Diknas tidak dihargai, hanya surat sakti Men PAN yang akan diperhatikan,” tambah Nurul Adha (Nusa Tenggara Barat).
Suprayitno (Pekalongan) menyadari keberpihakan pemerintah pusat terhadap pendidikan nonformal sangat minim, terbukti UU Guru dan Dosen tidak memuat ketentuan TLD. Karena itu, hingga kini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang memberikan pijakan hukum terhadap kedudukan, fungsi, tugas, hak, dan kewajiban TLD dalam kerangka pendidikan nasional.
Pernyataan senada disampaikan Abdurrohman (Banyuwangi), Fauzan Nur Rofiq (Banyumas), Rahdiyati (DKI Jakarta), dan Rosmanelly (Sumatera Barat).
Atas berbagai kenyataan itu, mereka mengharapkan pengangkatan TLD dikembalikan ke pemerintah pusat saja, tidak perlu lagi ditangani pemerintah daerah, agar penyelesaian masalah menjadi lebih transparan. Selain itu, karena medan perjuangan yang dihadapi sunggu berat mereka mengharapkan TLD dibekali asuransi.
Para anggota DPD mendukung perjuangan FKTLD. Faisal Mahmud (anggota DPD asal Sulawesi Tengah), Rusli Rachman (Bangka Belitung), Wilhelmus Wua Openg (Nusa Tenggara Timur), Abdul Muhyi Abidin (Nusa Tenggara Barat), Parlindungan Purba (Sumatera Utara), Aida Z Ismeth (Kepulauan Riau), dan Sujadi (Lampung).
Rusli mengakui tidak semua awam mengenal TLD, padahal mereka sudah bekerja luar biasa berat. Menurut dia, pengakuan formasi TLD dalam tes CPNS tidak terletak pada Depdiknas, melainkan di Kementerian PAN. “Tidak ada nomenklatur TLD, padahal mereka termasuk tenaga teknis yang menjadi prioritas penerimaan CPNS,” ujarnya.
Sujadi, yang menjadi motor kedatangan delegasi FKTLD, mengusulkan agar PAH III memediatori pertemuan dengan Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Kepala Badan Kepegawaian Negara. “Pertemuan dihadiri juga para TLD,” ungkapnya.
“Di negeri ini banyak terjadi penyempitan. Pendidikan disempitkan menjadi persekolahan, persekolahan dipersempit menjadi pengajaran, pengajaran disempitkan hanya pengajaran di kelas, pengajaran di kelas dipersempit menjadi kurikulum, kurikulum disempitkan menjadi hanya ujian nasional. Kalau penyempitan terjadi di pembuluh darah, stroke. Pendidikan di Indonesia sudah stroke, harus masuk ICU.”
Menurutnya, karena penyempitan makna pendidikan itulah, pendidikan nonformal tidak kunjung mendapat pengakuan memadai. Ditandai dengan cakrawala pengetahuan dan pemahaman jajaran pemerintahan mulai pusat hingga daerah yang tidak memposisikan TLD sebagai bagian dari pendidikan nasional. “Masalah pendidikan di negeri ini karena kebijakan pemerintah tanpa basis konsep, manajemen, dan filosofis," tegasnya.
Oleh sebab itu, ia menyetujui usulan Sujadi agar PAH III menjadi mediator pertemuan dengan Mendiknas, Men PAN, dan Kepala BKN, dengan dihadiri perwakilan FKTLD. (dina)