PT Telkom akhirnya membatalkan rencana kenaikan tarif karena waktunya tidak tepat. Meski usulan kenaikan itu sudah masuk ke DPR RI pada Oktober 2005 lalu. Namun, kenaikan itu pasti dilakukan pada waktunya nanti sambil melakukan berbagai perbaikan dan penyesuaian agar tidak menyulitkan masyarakat.
Hal tersebut ditegaskan Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar kepada wartawan seusai rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR, Senin (6/2) di Gedung MPR/DPR RI Jakarta. Hadir antara lain Dirut PT Indosat Hasnul Suhaimi, Dirut PT Telkom, Tbk Arwin Rasyid dan Wakil Dirut PT Telkom Tbk. Garuda Sugardo.
Wakil Dirut PT Telkom, Garuda Sugardo menjelaskan sebenarnya bukan hanya sekadar rebalancing—penyesuaian tarif, tapi juga harus ada penyederhanaan format. Karena sebenarnya tujuan rebalancing itu untuk mendapatkan cost base—harga dasar sebagai acuan dan cost base itu sendiri adalah hasil hitungan konsultan Dirjen Postel tahun 2002, itu yang dipakai oleh Telkom. Hanya waktu dan kondisinya belum tepat untuk diterapkan.
Dalam usulan ini, untuk SLJJ disarankan turun, hanya untuk bulanannya diperlukan penyesuaian sekitar 10%. Kalau untuk tarif lokalnya sendiri disesuaikan dengan cost base-nya tadi.
Meski demikian, semuanya tergantung kepada pemerintah, melalui Dirjen Postel, karena usulan juga sudah disampaikan ke Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan BRTI akan mengakajinya. Setelah itu disampaikan ke DPR untuk diputuskan.
Seperti diketahui surat bernomor 199/YN.000/JAR-30/2005 yang ditandatangani Dirut Telkom Arwin Rasyid, 27 Oktober 2005 menyebutkan tarif lokal mengalami kenaikan rata-rata sebesar 30 persen, dari Rp 250/menit menjadi Rp 325/menit. Sementara tarif SLJJ zone-1 (30-200 km) pada hari kerja jam 07.00-20.00 akan turun 18 persen dari yang sebelumnya Rp 1.815 per menit menjadi Rp 1.400 per menit.
Sedangkan iuran bulanan (abonemen) kelas residensial naik 13,5 persen, dari Rp 32.600 menjadi Rp 37.000. Mengenai alasan kenaikan, dalam surat itu Arwin menyebutkan, setidaknya terdapat beberapa faktor yang mendasari kenaikan tersebut. Pertama-masih adanya tarif bersubsidi jasa telepon dasar dan meningkatnya biaya operasional pasca kenaikan BBM.
Selain itu, belum terimplementasinya sisa kenaikan tarif sebesar 21,49 persen sesuai Kepmenhub No.12/2002 dan Surat Menhub No.PK.304/1/3/PHB-2002.
Dalam kesepakatan DPR tahun 2002, tarif telepon boleh naik sebesar 45,95 persen dalam jangka waktu tiga tahun. Kenaikan pertama dilakukan pada 2002 sebesar 19 persen, berikutnya April 2004 kenaikan rata-rata 9 persen. Dengan demikian potensi PT Telkom menaikkan tarif masih 21,49 persen.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR FKB, Effendy Choirie meminta agar pemerintah sementara ini tidak menaikkan tarif telepon, karena beban masyarakat makin berat. Setelah kenaikkan BBM, kemudian disusul impor beras dan rencana kenaikan tarif listrik, maka akan membuat masyarakat makin sulit dan menderita.
Karena itu pemerintah, lanjut Gus Choi, sapaan akrab politisi asal Gresik Jatim ini, diminta berpikir ulang untuk menaikkan tarif telepon. Menurutnya, bukan hanya masyarakat kecil yang kena dampaknya, usaha kecil seperti UKM juga akan bangkrut. “Mereka sudah dihantam formalin, rencana kenaikan TDL dan telopon. Kalau itu dibiarkan maka bisa menimbulkan gejolak sosial dan politik,” ujarnya. (dina)