Media memiliki peran penting untuk mengkampanyekan gerakan anti pornografi, untuk itu tayangan yang mengumbar aurat jangan hanya berhenti pada bulan Ramadhan, tapi juga pada bulan yang lain. Hal itu diungkapkan Ketua Presidium Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) Hj. Welya Safitri, di Jakarta, Kamis (11/9).
"Bukan sebaliknya, media larut dalam tayangan pornografi dengan dalih laku dijual, " tandasnya yang merupakan salah satu Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Mengutip fatwa MUI yang dimaksud dengan pornografi adalah menggambarkan secara langsung atau tidak langsung tingkah laku secara erotis baik dengan lukisan, gambar, tulisan, suara, reklame, iklan maupun ucapan baik melalui media cetak maupun elektronik yang dapat membangkitkan nafsu birahi adalah haram.
Menurut Welya, di luar bulan Ramadhan tayangan yang berbau pornografi dapat dengan mudah disaksikan oleh masyarakat baik melalui, elektronik atau internet.
"Tentu saja hal tersebut mempunyai dampak negatif, terutama bagi anak-anak yang nanti akan menjadi generasi penerus bangsa, " ujarnya yang juga menjadi Wakil Sekjen Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
Ia mengaku prihatin, di tengah semakin maraknya wacana tentang emansipasi perempuan, namun kita menyaksikan kondisi yang menyedihkan, seperti maraknya pornografi di media baik cetak dan elektronik.
Dan lebih aneh lagi segelintir orang mengatakan bahwa tampilnya kaum perempuan dengan pose porno dianggap sebagai bagian dari hak asasi manusia. "Pornografi merupakan bentuk kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, " tandasnya. (novel)