Keberadaan film dan sinetron Indonesia yang muncul sejalan dengan proses reformasi merupakan salah satu komponen gerakan syahwat merdeka, sebab akhir-akhir terdapat kecenderungan perubahan budaya prilaku masyarakat yang tidak pernah terfikirkan sebelumnya. Perubahan perilaku itu ada enam antara lain, perilaku permisif (serba boleh), perilaku Adiktif (serba kecanduan), kemudian sifat brutalistik (serba kekerasan), selanjutnya transgresiv (serba melanggar aturan), hedonistik (mau serba enak, mau foya-foya), serta materialistik (serba benda/uang semua).
"Pembuatan film dan sinetron di televisi yang merupakan ekspersi syahwat yang itu ditonton tidak tanggung-tanggung oleh 170 juta pemirsa, "ujar Budayawan Taufik Ismail dalam sidang pleno pengujian UU No.8 Tahun 1992 tentang perfilman, di Gedung Mahkamah Kostitusi, Jakarta, Kamis(24/1).
Ia menjelaskan, selain film dan sinetron, komponen lain yang dibawa oleh kelompok permisif dan adiktif ini masuk ke dalam tanah air yaitu, perilaku seks bebas, penerbit Majalah dan tabloid mesum bebas tanpa SIUPP menjual wajah dan kulit perempuan muda, 4, 2 juta situs porno dunia dan 100 ribu situs porno Indonesia dengan berbagai imaji seks, VCD porno yang menjadikan Indonesia surga besar dari pornografi yang paling murah didunia, peredaran komik cabul yang sasarannya anak-anak sekolah, produsen dan pengedar narkoba yang mencengkram 3 juta anak-anak muda, pabrik dan pengguna alkohol yang bisa merdeka sampai ke desa-desa, serta produsen nikotin.
"Kenapa alkohol, narkoba, dan nikotin termasuk dalam kontributor arus ini, karena sifat adiktifnya kecenderungan fanatis, itu interaksi dengan seks, "jelasnya.
Ia menilai, perubahan politik yang membawa berkah ini melalui reformasi, akan tetapi disisi lain menimbulkan laknat yang tidak sedikit. "Rasa malu bangsa ini yang sudah terkikis, dengan mereka yang sudah mabuk karena reformasi ini. Apakah bisa berbicara dengan kaidah-kaidah agama atau kaidah moral, tidak lagi, karena akan ditertawakan, "imbuhnya.
Senada dengan itu, Ketua MUI H. Amidhan menyatakan, tanda-tanda mengaburkan suatu kebenaran yang bersumber pada nilai-nilai yang berlaku dalam agama dan masyarakat saat ini sudah terjadi pada beberapa kelompok masyarakat di Indonesia. Bahkan, lanjutnya, kelompok tersebut memandang pemikiran yang benar itu, sebagai sesuatu yang dokmatis, pragmatis, fundamentalis dan sebagainya.
Ia menambahkan, keleluasaan dan kebebasan untuk berekspresi, berimprovisasi dan berkarya sebenarnya tidak ada batasan bagi semua pihak, namun harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Islam pun mengajarkannya. "Lama sebelum diwacanakan tentang universalitas dari HAM itu, dalam Al-Quran itu banyak sekali konteksnya terhadap HAM dan kebebaan berekspresi, misalnya yang sering kita ucapkan kalimat laa ikraha fiddin, atau lakuum dinnukum waaliyadin, "imbuhnya.
Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional Deddy Mizwar mengatakan, masalah industri perfilman tidak hanya terkait dengan sensor saja, namun bagaimana meningkatkan kreativitas untuk memajukan industri perfilman Indonesia.
Ia menilai, meski lembaga sensor film dirasakan belum menjalan tugasnya secara optimal, karena itu perlu melakukan perbaikan untuk kedepannya. "Keberadaan LSF perlu disempurnakan, "ujar Pemeran Utama Ustadz Husein di Sinetron Lorong Waktu ini. (novel)