Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) sudah bertekad bulat untuk tetap memberangkatkan para relawannya ke Palestina dan Libanon. Mereka sengaja dikirim untuk membantu pejuang Hizbullah menghadapi Israel.
"Kita tetap berangkatkan para Mujahid yang siap tempur. Meski tanpa restu pemerintah," ujar Ketua Departemen Data dan Informasi MMI, Fauzan Al-Anshori kepada pers di Jakarta, Rabu (9/8).
Menurutnya, ada beberapa pertimbangan yang membuat MMI tetap mengirimkan mujahidnya ke Libanon. Pertama, Israel hanya bisa dihentikan dengan bahasa besi, bukan bahasa lisan dan tulisan. Kedua, PBB dan OKI tidak mampu berbuat apa-apa, sehingga Israel dengan leluasa bertindak brutal.
Ditegaskannya, saat ini yang dicari adalah bukan restu dari pemerintah tapi restu Allah swt untuk membela saudara-saudara Muslim di Libanon dan Palestina yang tertekan akibat serangan Israel.
Untuk berangkat ke sama, ia menjelaskan ada dua dua cara, regluer dan non reguler. Kalau cara reguler itu gampang semua orang tahu, karena proses perizinannya dibantu pemerintah. Tapi kalau non reguler, berarti berangkat dengan cara masing-masing atas nama pribadi, bukan rombongan.
Ia menambahkan, para mujahid MMI yang berangkat adalah para alumni perang Afganistan yang juga ikut mendaftar. "Biasanya para mujahid ini dilatih dulu diperbatasan Suriah atau Iran. Mereka mendapatkan pelatihan militer," ujar dia.
Di tempat terpisah, Pengamat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], Hamdan Bashar meminta pemerintah tidak usah melarang para relawan itu untuk pergi ke Libanon. Karena keputusan itu adalah hak mereka untuk membela kepentingannya. "Itu bentuk simpati dan perlu dihargai. Jadi jangan dilarang kalau ada yang berangkat," sarannya.
Oleh karena itu, ia menghimbau para mujahid itu perlu tahu medan tempur Libanon itu seperti apa, perlu juga keterampilan menggunakan senjata, dan fisik yang siap. Jangan sampai membahayakan diri sendiri dan merepotkan pihak Hizbullah," tandas dia. (dina)