Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi maupun anggotanya tidak dapat diperiksa atas permintaan Menteri Sekretaris Negara.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dalam rapat kerja dengan komisi III, di gedung DPR, Jakarta, Senin (26/2).
Menurutnya, sesuai dengan pasal 30 UU KPK No. 30 tahun 2003, Ketua KPK dan anggotanya tidak dapat diperiksa atas permintaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif tanpa diserati bukti-bukti yang lengkap.
"Sesuai dengan pasal 30 UU No. 30 tahun 2003, KPK merupakan lembaga independen yang dapat melakukan tugasnya bebas dari pengaruh mana pun, pemeriksaan ketua KPK dan anggotanya dapat dilakukan kalau ada bukti permulaan yang cukup tidak hanya sekedar permintaan, " ujarnya.
Dalam rapat tersebut Ketua KPK Taufiqurachman Ruki juga menjelaskan pertanyaan Komisi II mengenai laporan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra ke KPK beberapa waktu lalu.
Ruki menyatakan, dalam laporan yang ditulis tangan oleh Yusril itu, Mensesneg melaporkan dua hal yang pertama meminta agar Ketua KPK diperiksa terkait dengan proses penunjukan langsung dalam pengadaan alat penyadap KPK. Yang kedua meminta KPK mempelajari Keppres No. 80/2003 tentang mekanisme penunjukkan langsung. Namun permintaan yang pertama itu kemudian dicoret oleh Yusril.
Sementara itu Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean menyatakan, penunjukan langsung belum dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi, sebelum ada alat bukti yang menunjukan adanya penggelembungan harga atau adanya aliran dana kepada pembuat keputusan.
Ia menambahkan, KPK akan tetap menindaklanjuti kasus proyek pengadaan sistem identifikasi sidik jari di Departemen Hukum dan HAM, sebab KPK bekerja tidak berdasarkan pada bargaining politik, tetapi ketentuan hukum dan alat bukti yang kuat.
"Masalah politik maupun non politik tidak akan mempengaruhi penindaklanjutan kasus itu, meskipun Presiden SBY sudah memanggil Ketua KPK dan Mensesneg, namun hal itu bukan karena adanya bargaining, "katanya. (novel)