Eramuslim.com – Anggota DPD RI Tamsil Linrung menilai, Presidential threshold (PT) tidak hanya menggerogoti demokrasi, tetapi juga mengamputasi amanat konstitusi.
Meski seringkali menjadi polemik, namun segala upaya korektif terhadap ambang batas pencalonan presiden ini tak pernah mempan.
Segenap gugatan ditolak, semua langkah hukum dimentahkan, dan seluruh analisa pakar menguap terbawa angin.
“Kita tidak mengerti, kekuatan apa di balik aturan ambang batas pencalonan presiden ini. Di belakangnya, konon, oligarki berkelindan dengan sejumlah klan politik, bahu-membahu mempertahankan presidential threshold,” katanya, dikutip Jumat (13/8).
Tujuannya, sebagai siasat meloloskan pasangan capres-cawapres partai politik tertentu, sekaligus mengebiri pasangan kandidat dari parpol lain.
Menurutnya, Indonesia bukan milik kelompok tertentu. Indonesia milik semua rakyat, dibangun di atas pondasi demokrasi dan hukum.
Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat menggaransi agar proses pengambilan keputusan akomodatif terhadap peran serta masyarakat. Sedangkan hukum menjadi aturan main.
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Bunyi dan maknanya terang, sehingga minim potensi dipersepsikan keliru.
‘Tegasnya, konstitusi membebaskan parpol memilih satu dari dua alternatif, hendak mengusung calon sendiri atau memilih bergabung bersama parpol lainnya,” ujarnya.
Tetapi, aturan presidential threshold dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menginterpretasi berbeda. Untuk dapat mengusung calonnya sendiri, Parpol wajib memenuhi kuota minimal 20 persen dari jumlah kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional. Kalkulasi suara ini berbasis pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
“Terlihat jelas, ada pertentangan antara dua pasal di atas. Dan karena konstitusi adalah sumber hukum tertinggi, maka aturan yang bertentangan di bawah harus dipandang inkonstitusional,” bebernya.