Eramuslim.com – Disemprot kanan-kiri depan-belakang atas-bawah, membuat Presiden Joko Widodo gerah juga. Presiden Joko pun menyodorkan 786 Pasal RUU KUHP ke DPR untuk disetujui menjadi KUHP.
Salah satu pasal yang disodorkan adalah pasal Penghinaan Presiden. Padahal Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP Tentang Penghinaan Presiden tersebut sudah dihapus Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006.
MK menilai, ketiga pasal itu menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan, pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan kepada presiden dan/atau wakil presiden.
Namun dalam RUU KUHP yang disodorkan ke DPR pada 5 Juni 2015, pasal ‘zombie’ tersebut kembali muncul.
“Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV,” begitulah isi Pasal 263 ayat (1) RUU KUHP.
Dalam Pasal 263 ayat (2) RUU KUHP dijelaskan bahwa perbuatan barusan dikecualikan apabila perbuatan itu merupakan penghinaan jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV,” demikian ancam Pasal 264.
Asal tahu saja, dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK menegaskan, Pasal Penghinaan Presiden/Wakil Presiden bertentangan dengan konstitusi. Sebab, Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHP masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137.
“Yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum,” begitu MK memutuskan pada 6 Desember 2006.
KUHP yang berlaku saat ini dibuat pada 1830 oleh penjajah Belanda dan dibawa ke Indonesia pada 1872.
Pemerintah kolonial memberlakukan secara nasional pada 1918 hingga saat ini. KUHP yang mempunyai nama asli Wet Wetboek van Strafrecht itu lalu menggusur seluruh hukum yang ada di Nusantara, dari hukum adat, hingga hukum pidana agama.(rz/pribuminews)